Beranda Opini

Sejarah Pelestarian Penyu di Kepri, Diawali dengan Survei oleh Para Figur Akademisi

0
Rofik-f/istimewa

Oleh:
M Rofik S.I.Kom, M.A.P
Komisioner KPID Kepri

PENYU laut pada umumnya terdiri dari dua spesies, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Untuk di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), ada empat orang pelestari penyu pertama kali, yang dimulai tahun 2004.

Keempatnya adalah Catharine Kartika Winata, M.Sc, yang saat ini bekerja sebagai dosen di President University Jakarta. Lalu, ada nama Ranan Samanya, M.Sc l, yang saat ini dosen di Universitas Pembangunan Jaya Jakarta.

Dr. Resti Rahayu, M.Sc selaku dosen di Universitas Andalas Padang, dan Mukhamad Rofik, S.I.Kom, M.A.P, yang saat ini menjabat Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kepri.

Pelestarian oleh keempatnya dibiayai oleh PT Bintan Resorts Cakrawala (BRC) dimana mereka bekerja pada saat itu. Pelestarian/konservasi diawali survei sosial, dengan menanyakan kepada masyarakat sekitar mengenai keberadaan penyu laut.

Pertanyaan yang diajukan kepada warga sekitar di antaranya, apakah mereka pernah melihat penyu bertelur di pantai sekitar perkampungan mereka.

Warga yang menjadi responden di antaranya tinggal di Kampung Baru dan Sei Kecil Desa Sebong Lagoi. Lalu Kampung Senggiling Desa Sri Bintan, Kampung Sebong Desa Sebong Pereh, serta Kampung Bugis dan Sekera Kelurahan Tanjunguban Utara.

Dari survei sosial ini didapatkan kesimpulan, bahwa penyu laut jenis penyu sisik, dan penyu hijau sering bertelur di pantai utara pulau Bintan sejak dahulu.

Tetapi beberapa tahun terakhir sudah jarang ditemukan penyu bertelur, ataupun masih ada namun tidak sebanyak puluhan tahun lalu. Dari survei ini juga diperoleh informasi, bahwa telur penyu dimakan untuk konsumsi sebagai lauk.

Sebagian warga berasumsi telur penyu merupakan makanan pemulih stamina. Beberapa warga yang menemukan telur penyu juga menjual kepada pedagang sebagai salah satu pendapatan. (Winata, C.K., A. Nadina, dan M. Rofik, 2008. Preliminary Study on Sea Turtles in Bintan Island, Riau Archipelago, Indonesia. Marine Turtle Newsletter 119:13-14)

Baca juga:  Dilema Perubahan Paradigma Pendidikan Indonesia pada Masa Disrupsi Covid-19

Selanjutnya dilaksanakan survei lapangan di pantai berpasir sepanjang 11 kilometer selama dua tahun, yaitu tahun 2004-2006. Didapatkan kesimpulan, pantai Pasir Panjang dengan panjang 3 kilometer yang lokasinya didekat Hotel Bintan Lagoon dan Kampung Senggiling merupakan lokasi paling banyak penyu laut bertelur. Puluhan sarang telur penyu ditemukan dalam satu tahun. (Samanya, R., 2015. Biologi Konservasi Penyu Laut.researchgate.net)

Pada tahun 2005, berbekal pengetahuan dari Nanyang Technological University dan
National University Singapura, penangkaran penyu mulai dibangun. Upaya penyadaran dan pembelajaran juga diberikan kepada masyarakat setempat, mengenai pentingnya menjaga populasi penyu dan lingkungan pesisir.

Pembelajaran dilakukan dengan pendekatan religius, penggunaan kearifan lokal, dan jalur edukasi formal ke sekolah-sekolah, diantaranya SMA Negeri 1 Teluk Sebong dan SMA Negeri 1 Bintan Utara.

Tahun 2004-2006 penyelamatan telur penyu dilaksanakan dengan penetasan di alamnya, yaitu di pantai dimana sarang ditemukan. Tingkat keberhasilannya hanya sekitar 10 persen, sebanyak 90 persen telur penyu yang baru disarangkan oleh induk penyu diambil oleh nelayan sekitar untuk dikonsumsi atau dijual.

Seiring kematangan teknik-teknik yang berhubungan dengan penangkaran, tingkat
kesuksesan penetasan telur juga meningkat, dengan variasi antara 74 sampai 98 persen.

Teknik penangkaran diubah. Yang tadinya secara alami, menjadi rekayasa penangkaran dengan cara telur dipindahkan ke tempat yang lebih aman yaitu di sekitar pantai hotel Nirwana Gardens, dengan perlindungan berupa pagar dari paranet serta suhu pengeraman di pantau setiap hari.

Semenjak tahun 2009 peran masyarakat ditingkatkan, bersamaan dengan keterlibatan Maksun Asfari yang membidangi Community Development, dengan dibangunnya sebuah penangkaran di kampung mereka, seperti Kampung Senggiling.

Hal ini, dan upaya-upaya lain di atas, berhasil menurunkan tingkat pengambilan telur penyu oleh masyarakat setempat dari 91 persen di tahun 2004 menjadi 20 persen di tahun 2009. (Winata, Catharine K., R. Samanya, R. Febriana, H.R. Wahyuni, M. Asfari, dan M. Rofiq, 2010. Community Based Approach to Turtle Conservation in Bintan: The first step, dalam Proceeding of the International Symposium on Integrated Coastal Management for Marine Biodiversity in Asia, Kyoto: 3-4.)

Baca juga:  Bintan, Tak Berganjak Jangan Sorak Sorak

Peran serta resor-resor dan hotel-hotel di dalam kawasan Bintan Resorts mulai terasa, sejak bergabungnya Nirwana Gardens Resort pada tahun 2006. Pada tahun 2008 Banyan Tree turut berpartisipasi dan di tahun 2009 Club Med Bintan juga ikut serta di dalam program ini.

Pelestarian penyu laut yang dibiayai oleh PT BRC ini mengadopsi prinsip pelepasan tukik secara langsung, saat matahari mulai terbenam. Berdasarkan fakta bahwa mereka menyimpan data orientasi pantai tempat mereka menetas, untuk kembali lagi setelah dewasa (Lohmann et al., 2008; 2013; Brothers & Lohmann, 2015).

Praktek penangkaran dan pemeliharaan tukik sebelum dilepas, diketahui berpengaruh terhadap orientasi tukik dan naluri untuk bertahan hidup (Hewavisenthi, 2001; Tisdell & Wilson, 2003). Di samping itu, karena variasi pola Arus Lintas Indonesia setiap musim (Shinoda et al., 2012), melepas tukik setelah dipelihara mungkin mengubah pola sebaran spasial mereka.

Bagi resor-resor dan hotel, turut andil dalam konservasi penyu juga berperan di dalam peningkatan tingkat hunian hotel karena pelepasan anak penyu/tukik merupakan kejadian yang ditunggu-tunggu oleh wisatawan, dan naiknya status resor mereka dalam bidang operasi hotel yang berwawasan lingkungan.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini