27.7 C
Tanjung Pinang
Minggu, Juli 20, 2025
spot_img
spot_img

Meniti Jalan Baru untuk Menjadi Tuan di Laut Sendiri

Chandra Dinata

Oleh:
Chandra Dinata
Peneliti & Dosen di Program Studi Administrasi Publik, Universitas Merdeka Malang

KEPULAUAN RIAU (Kepri) tak pernah kekurangan potensi. Laut luas, hasil tangkap melimpah, dan letaknya yang strategis di jalur pelayaran dunia menjadikannya salah satu kawasan paling prospektif di Indonesia.

Namun ironisnya, Kepri justru kerap menjadi pelengkap penderita dalam narasi pembangunan nasional. Perekonomiannya selama ini terjebak dalam pola lama. Industri migas, kawasan ekonomi khusus, dan pariwisata eksklusif yang lebih banyak menguntungkan investor besar ketimbang masyarakat lokal.

Sementara, konglomerat leluasa mengeruk untung dari zona industri dan pelabuhan, nelayan kecil di Pulau Galang, Lingga, dan Tambelan terus bergelut dengan harga jual yang dipermainkan tengkulak, kawasan tangkap yang menyempit, dan degradasi ekosistem yang kian parah.

Data terbaru BPS Kepri (2024) menunjukkan bahwa sebanyak 124.960 jiwa atau 4,78% dari penduduk Kepri masih hidup di bawah garis kemiskinan, meskipun ada tren penurunan dibanding awal tahun. Namun, tingkat ketimpangan pengeluaran (Gini Ratio) justru naik ke angka 0,357, mengindikasikan bahwa jurang ketimpangan melebar (BPS Kepri, 2024).

Di sisi lain, hutan mangrove di Batam terus menyusut secara signifikan, dengan laju kerusakan mencapai 376 hektar per tahun. Bahkan, sekitar 50 persen dari luas mangrove yang tersisa dalam kondisi rusak, akibat reklamasi pantai, ekspansi industri, dan alih fungsi lahan (Kompas, 2023; Mongabay, 2023; Batam News Asia, 2024).

Proyek properti dan tambak terus mendorong hilangnya ekosistem penting ini. Sudah saatnya Kepri bangkit dengan caranya sendiri. Membangun ekonomi biru yang inklusif, bukan eksploitatif.

Menyingkap Luka: Kritik terhadap Arah Pembangunan

Banyak proyek besar di Kepri berdiri di atas dalih “membuka lapangan kerja”, tetapi realitanya justru menutup akses hidup warga lokal. Kawasan pariwisata elit di Bintan, misalnya, menyulap pantai rakyat menjadi properti eksklusif yang hanya bisa dinikmati turis dan investor asing.

Sementara proyek pelabuhan dan industri di Batam kerap dilakukan tanpa konsultasi memadai terhadap masyarakat yang terdampak.

Mengutip pemikiran Herbert Marcuse (1964), pembangunan seperti ini adalah bentuk “pembangunan satu dimensi”, hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat dampaknya pada manusia dan lingkungan. Logika semacam ini yang hanya memandang laut sebagai objek eksploitasi, bukan ruang hidup harus dikoreksi.

Ekonomi Biru Inklusif sebagai Jalan Tengah

Alih-alih mengekor pada skema lama, Kepri bisa mengambil jalan baru: membangun ekonomi biru inklusif yang berpihak pada masyarakat pesisir. Konsep ini bukan sekadar pemoles istilah, tapi pendekatan yang menggabungkan kearifan lokal dengan teknologi modern, mengutamakan keberlanjutan, dan menjamin keadilan ekonomi.

Tulisan ini mengusulkan model Kampung Bahari Inovatif (KBI) yang memadukan tiga pilar transformasi konkret: Pertama, Ekonomi Digital Nelayan. Dengan dukungan aplikasi sederhana, nelayan tradisional di Bintan atau Kundur bisa menjual hasil tangkap langsung ke koperasi atau konsumen akhir, tanpa dipotong tengkulak.

Teknologi blockchain bisa dipakai untuk menjamin keaslian dan keberlanjutan tangkapan, sekaligus menarik pasar ekspor yang kini makin peduli ekolabel. Ini bukan sekadar digitalisasi, tapi revolusi cara jual-beli yang memberdayakan nelayan.

Kedua, Koperasi Ekologi Laut. Koperasi bukan hanya tempat simpan pinjam, tapi juga pengelola kawasan tangkap, pelindung terumbu karang, dan penyelenggara ekowisata.

Di Pulau Mapur, misalnya, masyarakat bisa diberdayakan untuk mengelola wisata selam dan pelestarian ikan kerapu dengan sistem insentif berbasis konservasi blue carbon incentive. Jadi, makin lestari lautnya, makin sejahtera anggotanya.

Ketiga, Sekolah Maritim Rakyat. Inklusi ekonomi butuh inklusi pengetahuan. Kita butuh “sekolah bahari” di desa-desa pesisir, tempat anak muda belajar budi daya laut, pemrosesan rumput laut menjadi kosmetik, hingga membuat konten digital tentang kekayaan bahari mereka.

Di Natuna, proyek rumput laut sudah berjalan (KKP, 7/3/2025; Mongabay, 23/8/2016), tapi masih minim hilirisasi. Sekolah ini bisa jadi jembatan inovasi.

Membangun dari Bawah: Ko-Produksi sebagai Strategi

Berlandaskan teori co-production dari Elinor Ostrom (1990; 1996), ekonomi biru sejati lahir dari kerja sama sejajar antara negara, pasar, dan komunitas. Pemerintah bukan bos, tapi fasilitator. Perizinan tangkap berbasis komunitas, pengawasan bersama, hingga pembiayaan melalui blue bond bisa jadi model kolaborasi baru yang adil dan transparan.

Di Tanjungpinang, misalnya, Perguruan Tinggi bisa bekerja sama dengan koperasi nelayan untuk mengembangkan produk turunan rumput laut seperti ‘karagenan’ atau makanan sehat berbasis laut yang laku di pasar dalam dan luar negeri.

Akhiri Ketergantungan, Bangun Kedaulatan Maritim

Kepri tidak perlu jadi pelayan logistik global selamanya. Ia bisa menjadi pelopor ekonomi bahari berbasis komunitas di Indonesia. Pembangunan tak boleh lagi berjalan di atas kepala masyarakat, melainkan bersama mereka, dengan mendengar, melibatkan, dan menghargai mereka sebagai pemilik sah ruang laut ini.

Ekonomi biru inklusif bukan hanya soal mengganti istilah, tapi soal mengubah orientasi: dari pertumbuhan yang eksklusif menjadi kesejahteraan yang merata. Dari eksploitasi menjadi kolaborasi. Dari ketergantungan menjadi kemandirian.

Kini saatnya Kepri memimpin revolusi biru dari pinggiran. Karena hanya dengan menanam di laut yang sehat dan adil, kita bisa menuai masa depan yang berdaulat. ***

spot_img

Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Iklan -spot_img

Berita Terbaru

Translate »