Beranda Opini

Raja Ali Kelana dan Kepemilikan Kepulauan Batam

0
Guru Besar FKIP UMRAH, Prof Dr H Abdul Malik MPd-f/istimewa-umrah

Oleh :
Prof Dr H Abdul Malik MPd
Guru Besar FKIP UMRAH
Budayawan Provinsi Kepri

APABILA negeri itu berubah kelakuannya merupakan bagian dari kalimat aforisme yang diungkapkan oleh Raja Ali Kelana. Beliau merupakan salah seorang tokoh Kesultanan Riau-Lingga, yang sangat dihormati dan disegani.

Bagi pihak lawan, Pemerintah Kolonial Belanda, beliau menjadi tokoh yang setiap gerak dan tindakannya harus diawasi, diwaspadai, dan dicurigai. Raja Ali Kelana-dan beberapa tokoh lain menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda tak dapat berbuat sesuka hati mereka di Kesultanan Riau-Lingga.

Siapakah Raja Ali Kelana? Beliau oleh keluarganya diberi nama Ali. Nama Ali ini kebetulan sangat banyak digunakan oleh orang Melayu. Tak terlalu salah kalau disebutkan bahwa kebiasaan itu dimotivasi oleh harapan untuk mengambil semangat Saiyidina Ali ibni Abi Thalib r.a., sepupu sekaligus sahabat dan menantu Nabi Muhammad SAW.

Saiyidina Ali terkenal perkasa dan salah seorang pembela utama Islam yang ternama. Karena keturunan bangsawan Kesultanan Riau-Lingga, di depan nama kecilnya itu melekat gelar keturunan raja sehingga menjadi Raja Ali.

Lengkapnya nama beliau Raja Ali ibni Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi. Selain itu, beliau juga dikenal dengan nama-nama panggilan yang lain yaitu Raja Ali Ahmadi, Raja Ali Riau, Raja Ali Bukit, dan Engku Ali Riau.

Penambahan “Kelana” di belakang namanya sehingga menjadi Raja Ali Kelana, merupakan jabatan yang disandangnya yaitu menjadi Kelana di dalam pentadbiran Kesultanan Riau-Lingga.

Jabatan Kelana itu merupakan jabatan tinggi satu tingkat di bawah Yang Dipertuan Muda (Raja Muda yaitu orang kedua setelah Sultan di dalam struktur pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga kala itu). Orang yang telah menjabat Kelana merupakan calon Yang Dipertuan Muda.

Ayahanda beliau, Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi, adalah Yang Dipertuan Muda X Kesultanan Riau-Lingga. Baginda wafat pada 1899. Sesuai dengan ketentuan adat, seharusnya Raja Ali Kelana yang menggantikan ayahndanya menjadi Yang Dipertuan Muda XI Kerajaan Riau-Lingga.

Akan tetapi, beliau tak sempat dilantik untuk jabatan yang menjadi haknya itu, karena meningkatnya perseteruan Kesultanan Riau-Lingga dengan Pemerintah Hindia-Belanda, yang dari pihak Kesultanan Melayu ini, Raja Ali Kelana dikenal sebagai pembangkang yang paling diperhitungkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Raja Ali Kelana merupakan tokoh yang ditempa dengan pendidikan Islam yang baik. Selain menuntut ilmu di lingkungan kesultanan di Pulau Penyengat Indera Sakti, beliau sempat memperdalam ilmunya di Mekah.

Di antaranya beliau dibimbing oleh ulama ternama seperti Syekh Ahmad al-Fatani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, dan lain-lain. Kegiatan menuntut ilmu itu dilakukannya ketika singgah di Mekah dalam perjalanannya untuk melaksanakan tugas diplomatik kesultanan ke Mesir. Selain itu, beliau juga berkunjung ke Turki Usmaniyah pada 1895 dan 1905 untuk urusan diplomatik kesultanan.

Baca juga:  Journalist Boarding School, Bangun Karakter Siddiq-Amanah-Tabligh Fathanah

Raja Ali Kelana menunjukkan sikap permusuhannya dengan Pemerintah Hindia-Belanda dalam banyak hal. Di antaranya beliau menolak keras penggunaan kata firman dan akhazatun yang digunakan pihak Hindia-Belanda untuk perjanjian politik dengan Kesultanan Riau-Lingga.

Kata firman ditolaknya karena kata itu digunakan oleh pihak Belanda untuk ucapan para pemimpin Belanda. Raja Ali Kelana menentang keras cara Belanda itu, karena dalam tradisi yang santun dalam bahasa Melayu, kata firman dikhususkan hanya bagi Allah SWT, bukan untuk ucapan manusia, apalagi perkataan pemimpin Hindia-Belanda.

Dengan demikian, Pemerintah Hindia-Belanda tak menghormati sesuatu yang sakral dalam budaya Melayu-Islam. Dan, itu harus dilawan!

Pemerintah Hindia-Belanda juga menggunakan kata akhazatun untuk penghalusan (eufemisme) kata pinjaman. Lebih dari itu, oleh pihak Belanda, Kesultanan Riau-Lingga-lah yang didefinisikan “meminjam” kepada Belanda.

Apakah yang dimaksudkan dipinjam itu? Jawabnya, wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Jadi, terbalik kod, Belanda mengartikan Kesultanan Riau-Lingga meminjam wilayah Riau-Lingga dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Tentulah perangai penjajah seperti itu ditentang keras oleh Raja Ali Kelana dan segenap pemimpin Melayu kala itu. “Kami yang ahli waris sah kerajaan ini, mengapa pula dibalikkan menjadi meminjam kepada kalian, wahai Tuan Penjajah?” begitu kira-kira perlawanan yang dilakukan oleh Raja Ali Kelana.

Raja Ali Kelana adalah salah seorang pendiri dan pengurus inti Rusydiah Kelab. Itu bukanlah sebarang kelab. Rusydiah kelab merupakan organisasi cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga yang didirikan pada 1885.

Perhimpunan ini telah menunjukkan kerja berlandaskan budaya modern dengan mengutamakan penggalakan kemajuan pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan tentulah didasari oleh nilai-nilai Islam.

Mereka sangat menyadari bahwa untuk eksis di dunia modern, ilmu dan ekonomi menjadi pilar utama dengan nilai-nilai agama Islam sebagai pedomannya.

Itulah yang mereka perjuangkan di samping menjadi kelompok penekan bagi pihak kesultanan dan Pemerintah Hindia-Belanda agar menjalankan pemerintahan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan.

Jangankan pihak penjajah, Kesultanan Riau-Lingga pun kalau menyimpang dalam penyelenggaraan negara akan mereka kritik. Organisasi ini berjuang berasaskan nilai-nilai Melayu-Islam, adat-istiadat Melayu, dan bahasa Melayu.

Di organisasi ini Raja Ali Kelana-lah yang menjadi salah seorang pemikir dan penggeraknya.Saudara seayah Sultan Abdul Rahman Al-Muazam Syah II itu adalah pemimpin perusahaan batu bata Batam Brick Works di Pulau Batam, pengusaha banyak rumah sewa di Singapura, dan pemilik perkebunan yang sangat luas di Batam dan Bintan.

Yang paling mustahak untuk dicamkan dari misi bisnis para pemimpin Kesultanan Riau-Lingga kala itu adalah ini: agar sanak-saudara Melayu tak ada yang susah hidupnya dan terbentuk persatuan yang kokoh di kalangan anak watan (lihat juga Hasan Junus, 2002).

Baca juga:  Perkokoh Budaya Anti Korupsi Melalui Modernisasi Perbendaharaan Negara

Raja Ali Kelana mengemban tugas dalam pengembangan ekonomi. Berdasarkan surat Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga, Rabu, 29 Rabiul Akhir 1308 H., beliau dan Raja Muhammad Tahir ibni Raja Haji Abdullah al-Khalidi diberi hak untuk mengelola Pulau Batam. Oleh keduanya, didirikanlah perusahaan batu bata “Batam Brick Goods” di Pulau Batam itu.

Ketentuan itu dipertegas lagi dengan surat Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga, Selasa, 8 Rabiul Awal 1316 H. bersamaan dengan 26 Juli 1898. Dalam surat terbaru itu, haknya dikukuhkan lagi bersama dengan Raja Abdullah (Tengku Besar) dan Raja Muhammad Tahir. Sejak itu, berkembanglah usaha batu bata di Pulau Batam. Itulah industri pertama di Pulau Batam.

Pada 1896 Raja Ali Kelana ikut mendirikan badan penerbit Al-Imam, yang kemudian pada 1906-1908 menerbitkan Majalah Al-Imam, yang terbit di Singapura. Beliaulah yang menjadi donator utama penerbitan majalah itu.

Sebagai cendekiawan, pada 1896 beliau menyelesaikan buku Pohon Perhimpunan pada Menyatakan Peri Perjalanan. Buku dengan gaya jurnalistik itu, ditulis berdasarkan hasil perjalanan ke Pulau Tujuh (sekarang Kabupaten Natuna dan Anambas), sebagai bagian dari tugasnya menjadi Kelana.

Dengan demikian, Raja Ali Kelana merupakan tokoh jurnalistik pertama dari Kerajaan Riau-Lingga. Selanjutnya, terbit buku beliau Perhimpunan Plakat (1900), Kumpulan Ringkas-Berbetulan Lekas-Pada Orang yang Pantas-Dengan Pikiran yang Lantas (1910), Bughiyat al-‘Ani fi Huruf al-Ma’ani (1922) yaitu buku pelajaran bahasa dan semantik (ilmu makna) bahasa Melayu, dan Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah.

Dengan karyanya Bughiyat al-‘Ani fi Huruf al-Ma’ani, Raja Ali Kelana melengkapkan kajian bahasa Melayu, dalam bidang morfologi dan semantik yang belum pernah dikerjakan oleh para penulis Kesultanan Riau-Lingga yang lain sebelum itu.

Pada 11 Februari 1911 Pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan Riau-Lingga secara sepihak, karena sultan dianggap pembangkang. Di antara pembangkangan yang dimaksud adalah Sultan tak mengibarkan bendera Belanda di lingkungan istananya.

Bagi Sultan dan para pembesarnya, Kesultanan Riau-Lingga adalah negara merdeka. Dengan demikian, tak ada kewajiban bagi kerajaan untuk mengibarkan bendera Belanda.

Menurut pihak Belanda, orang yang memberi “pengaruh buruk” terhadap Sultan Abdul Rahman Al-Muazam Syah tak lain tak bukan dua tokoh Rusydiah Kelab: Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam.

Bersamaan dengan itu, Residen Riau di Tanjungpinang pada 23 Juni 1911 mengeluarkan “firman” yang ditandatangani oleh G.F. de Bryn Kops yang membatalkan semua surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh Sultan Riau-Lingga.

Baca juga:  TPA Ganet Dah Makin Nonet

Selanjutnya, pada 1913 Pemerintah Hindia-Belanda membubarkan Kerajaan Riau-Lingga (Staatblad/Lembaran Negara 1913/19). Para pemilik tanah boleh memiliki tanah mereka, jika mau mengubah surat tanah mereka yang mesti ditandatangani oleh Residen Belanda di Tanjungpinang.

Para pemimpin dan rakyat Kesultanan Riau-Lingga, termasuk Raja Ali Kelana, tak sudi menerima putusan sepihak itu. Bahkan, mereka rela tanah mereka dirampas oleh Pemerintah Hindia-Belanda daripada mengakui keabsahan Pemerintah Kolonial Belanda.

Oleh Pemerintah Hindia-Belanda, tanah-tanah milik Raja Ali Kelana dan orang-orang Melayu dipindahkan kepemilikannya kepada pihak lain, yang sebelumnya adalah kuli orang Melayu. Tanah-tanah itu diambil secara tak sah, karena tak sesuai dengan hukum yang berlaku di Kesultanan Riau-Lingga.

Bukan tak mungkin, kita yang hidup pada hari ini tinggal atau berbisnis di atas lahan yang dahulunya milik Raja Ali Kelana, baik di Bintan maupun di Batam dan sekitarnya. Karena berhadapan dengan kolonial Belanda, beliau tak pernah melafazkannya bahwa hak-hak sahnya itu diwakafkan kepada sesiapa pun.

Dengan demikian, kepemilikan selanjutnya mulai dari tragedi perampasan oleh Belanda itu sesungguhnya mengikuti cara kolonialisme Belanda, yang tentu saja tak sah menurut adat-istiadat Melayu-Islam.

Setelah pemakzulan Sultan Abdul Rahman Al-Muazam Syah, sebagian besar orang Melayu memilih berhijrah ke Johor dan Singapura, untuk mendapatkan suaka politik dari Sultan Johor, termasuk Raja Ali Kelana. Dari tempat pengasingan itulah disusun kembali strategi untuk merebut kembali tanah tumpah darah mereka.

Selain Khalid Hitam yang berusaha menjalin upaya diplomatik dengan Pemerintah Jepang, Raja Ali Kelana pergi kembali ke Turki pada 1913 untuk meminta bantuan. Malangnya, upaya-upaya itu gagal.

Dan, sejak itu Kesultanan Riau-Lingga dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Karena kepakarannya, Raja Ali Kelana diangkat sebagai Penasihat Politik dan Ketua Agama Islam Negeri Johor oleh Sultan Johor.

Sebagai tokoh, Raja Ali Kelana dikenal dengan aforisme politiknya yang sungguh menggerunkan, “Apabila negeri itu berubah kelakuannya, maka tinggalkan dia.”

Berdasarkan keyakinan dan sikapnya itu, lebih-lebih karena tak sudi bertuankan penjajah, beliau rela meninggalkan harta-bendanya yang berlimpah demi menjunjung marwah bangsanya, bangsa Melayu.

Beliau tak meninggalkan tanah tumpah darahnya begitu saja, tetapi memperjuangkan kebangkitannya kembali walau belum berjaya kala itu. Raja Ali Kelana, tokoh agama, pendidikan, ekonomi, politik, linguistik, jurnalistik, dan cendekiawan itu betul-betul meyakini aforisme yang telah dilafazkannya.

Anak jati Melayu itu teguh dengan pendiriannya, “Pantang Melayu menjilat air ludahnya sendiri!” Tidakkah itu mengagumkan sekaligus menggerunkan? Dan, Melayu adalah pemilik sah tanah tumpah darahnya sendiri.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini