Beranda Opini

Pandemi Covid dan Spirit Harkitnas, Catatan 113 Tahun Harkitnas

0
Raja Dachroni-f/istimewa-dokumentasi pribadi

Oleh: Raja Dachroni
Podcaster dan Pegiat Media Sosial Bisa Disapa di Akun IG nya @rajadachroni

DI tahun kedua Pandemi ini kita belum bisa mengakhiri cerita Covid. Beragam sektor atau bidang mengalami keterpurukan yang mendalam.

Persoalan yang menyerang masalah kesehatan ini memberikan efek negatif bagi dunia bisnis, perhotelan, pariwisata hingga pendidikan.

Melalui momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ini mari kita merenung dan tetap merawat optimisme untuk bersama-sama bangkit dari Covid.

Kita harus tunjukkan, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tangguh sesuai dengan tema peringatan Harkitnas kita, “Bangkit! Kita Bangsa yang Tangguh!”

Secara jujur juga harus kita akui. Sebelum Covid pun, negara-negara di dunia termasuk di Indonesia juga sedang menghadapi resesi ekonomi yang cukup parah, dan hal ini diperparah lagi dengan Covid.

Bagaimana kita memulai cerita optimisme untuk bangkit? Tentu tidak lain kita harus membereskan persoalan Covid ini. Terlepas ini persoalan konspirasi seperti yang dikatakan sebagian pihak atau ini murni virus yang didatangkan Tuhan untuk kita.

Kendati demikian, di tengah wabah Covid ini juga kita prihatin sebagian besar masyarakat sepertinya tidak peduli lagi dan khawatir akan bahayanya.

Salahkah masyarakat? Tentu tidak karena negara memang belum mampu mengelola bencana ini dengan baik, padahal ini sudah masuk tahun kedua.

Idealnya polanya sudah ketemu, tapi sepertinya negara gagal memetik pelajaran di tahun pertama wabah Covid. Mungkin dipikir, Covid akan pergi dengan sendirinya. Faktanya tidak.

Akar dari ketidakberesan ini menurut hemat penulis ada dua. Pertama, komunikasi publik negara yang buruk. Kedua keteladanan yang sangat minim dari penyelenggara.

Terkait masalah yang pertama kita begitu banyak menemukan ragam komunikasi pejabat publik yang berbeda tentang Covid 19.

Baca juga:  Peduli Covid-19, Warga Tionghoa Natuna Bagikan 1.000 Paket Sembako

Di awal-awal Covid muncul pejabat negara ada yang orang Indonesia tidak mungkin kena Covid karena rutin minum jamu dan sebagainya, virus hanya ada di China dan beragam pernyataan unik lainnya yang semua sebenarnya terbantahkan dengan realita.

Kini, di tahun kedua juga tidak jauh berbeda. Ada virus varian baru Covid, namun tidak dijelaskan secara utuh atau jika disampaikan masih kalah dengan opini masyarakat yang beredar di medsos.

Publik hanya membaca lewat media sosial dan itu sangat liar. Ada yang hoax dan ada juga yang benar adanya. Negara dalam hal ini belum berhasil menangkal hoax sehingga rakyat lebih dulu cemas.

Padahal, bisa saja negara memanggil penanggungjawab beragam platform medsos itu untuk membantu negara untuk mengatasi persoalan disinformasi dan hoax terkait bab covid ini.

Penulis pikir mungkin banyak yang wafat bukan karena Covid tapi kekhawatiran dan kecemasan yang membuat daya imun yang rendah membuat tingkat kematian di awal-awal pandemi tidak terelakkan lagi. Terkait hal inj memang kita butuh data untuk menganalisasnya lebih dalam.

Namun, disatu sisi kita juga cukup gembira banyak juga yang sembuh di antara penderita. Mereka kelihatan enjoy saja. Inilah api optimisme yang harus dikobarkan.

Covid-19 bukanlah sesuatu hal yang berbahaya. Kita harus lawan karena kita bisa sembuh. Negara harus bisa menghidupkan api optimisme ini.

Di sisi lain, kita juga prihatin di saat meledaknya kasus Covid di tahun kedua ini negara menangkap oknum yang mendaur ulang alat tes covid dan ilegal.

Belum lagi dugaan korupsi bansos covid. Sedih, lihat ada oknum atau pihak-pihak yang menari di atas penderitaan pasien Covid dan keluarganya.

Baca juga:  Urgensi Pendidikan Holistik di Era Digital dan Perspektif Pendidikan Karakter dalam Momentum Hari Pendidikan

Tapi itulah realitanya, kita berharap negara bisa mengusutnya hingga tuntas, jika tidak ya kita hanya bisa berdoa semoga dilindungi Tuhan, dan orang-orang seperti ini segera sadar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perbuatan seorang pancasilais.

Lalu, kita juga menyayangkan perilaku sebagian pejabat negara yang melarang untuk membuat kerumunan. Akan tetapi, dalam membuat event-event tertentu negara malah memicu kerumunan. Tidak memberikan keteladanan.

Ini yang menurut hemat penulis yang membuat kita sulit untuk membangun kesadaran bahaya covid ini. Akhirnya, masyarakat menganggap ya sudah kita berkerumanan saja lebih baik mati karena Covid daripada mati kelaparan. Itu anggapan masyarakat yang sulit untuk kita elakkan.

Jadi, kita semua harus bangkit dan sadar bahwa Covid saat ini adalah tantangan yang harus kita hadapi bersama. Negara dan masyarakat harus satu frekuensi.

Sebagai masyarakat ayo kita terus sadar akan bahayanya dan segera beradaptasi untuk bangkit. Negara juga kita harapkan segera membangun komunikasi publik yang baik.

Tidak boleh lagi ada disinformasi atau kabar-kabar hoax yang didengar masyarakat tentang Covid. Selain itu, berikanlah keteladanan jangan sampai ada imej hanya negara yang boleh refreshing dan masyarakat di rumah saja.

Ayo bersama kita bangkit. Bangkit dari Covid. Semoga Allah SWT menguatkan kita dan memberikan petunjuk untuk keluar dari berbagai problem utamanya masalah pandemi Covid ini. AminYRA.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini