Beranda Opini

Isu HIP dan Keadilan

0

Oleh: Robby Patria 

Mahasiswa S3 University Tun Hussien Onn Malaysia (UTHM)

Hari ini, saya melihat tiga media mainstream menjadikan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai berita di halaman depan. Yakni Republika yang dari awal kebijakan redaksinya nampaknya memang menolak RUU itu dibahas lebih lanjut. Kemudian Media Indonesia di paling bawah halaman depan dan Rakyat Merdeka masih di berita unggulan.

Sementara The Jakarta Post mengangkat isu HAM di Papua, Kompas soal isu kartu Prakerja dan Tempo menjadikan halaman depan 14 juta rekening listrik. Tak munculnya isu RUU HIP di halaman depan media utama menandakan isu itu sudah tak menarik lagi dibahas di halaman depan. Dan pemerintah menunda untuk melakukan pembahasan dalam waktu dekat.

Bahkan Muhammadiyah akan mengirim tim jihad Konstitusi jika RUU Pancasila dilanjutkan untuk dibahas. Dan putra daerah dari Midai, Prof Syamsul Anwar, guru besar di UIN Sunan Kalijaga menjadi pengawal tim jihad Konstitusi Muhammadiyah untuk mengawasi RUU HIP.

Sudahlah cukuplah Pancasila kembali ke versi pidato Bung Karno 1 Juni 1945, jangan kembali ke versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
“Pancasila sudah final & disahkan pada 18 Agustus 1945. Itulah yg konstitusional dan resmi berlaku. Jangan lagi mundur ke konflik masa lalu,” kata Prof Jimly Asshiddiqie, Ketua ICMI. Bahkan Yudi Latif di catatan Media Indonesia menilai RUU itu disusun banyak menabrak nilai nilai Pancasila.

Ia menyebutkan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila, pemerasan Pancasila ke dalam trisila dan terutama ke dalam ekasila menjadi problematik. Itu bisa menimbulkan kesan bahwa Pancasila ditempatkan di jalur materialisme. Ini berbeda dengan jalur pernyataan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Baca juga:  Little Hongkong

Yang musti kita renungkan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemanusiaan di musim pandemi saat ini. Praktik keadilan hukum dan keadilan sosial dalam kasus penyiram Novel Baswedan, menjadi isu yang tak nyaman didengar, dan dibaca. Anak muda Bintang Emon pun membuat video temanya tak sengaja.

Lalu kita lihat bagaimana distribusi kekayaan menjadi tidak adil dan merata. Majalah Forbes mengeluarkan daftar orang terkaya 2019 di Indonesia. Total kekayaan dari 50 orang terkaya di Indonesia tersebut mencapai USD 134,6 miliar atau Rp1.898 triliun di 2019. Angka ini setara dengan penerimaan pajak Indonesia 2018 sebesar Rp1.894 triliun.

Bandingkan dengan jumlah kekayaan orang miskin Indonesia dengan pendapatan per hari 2 dolar saja lebih dari 50 juta jiwa hingga 100 juta. Tentu keadilan kita yang diukur dengan gini ratio timpang 0,38. Inilah persoalan pokok sila kelima Pancasila.

Pidato Sukarno pada 1 Juni menyatakan,” Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini