Beranda Opini

Isu HIP dan Keadilan

0

Apalagi demokrasi kita di sila keempat masih dikuasai kalangan berduit. Bagaimana demokrasi yang diinginkan Sukarno pada pidato 1 Juni?

“Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politieke – ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.

Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politieke, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid“, – turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih.

Baca juga:  Kesehatan Dahulu, Ekonomi Kemudian

Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchieitu.”

Dan hari ini demokrasi kita masih demokrasi prosedural belum mencapai demokrasi substansial yang dicita citakan Sukarno pada pidato 1 Juni. Demokrasi kita masih diwarnai politik dinasti, money politics, dan oligarki.

Bahkan 9 Desember 2020 kita masih melakukan pilkada ketika pemilih masih waspada soal Covid19, penyelenggara KPU dan Bawaslu harus hati hati melaksanakan pilkada dan bansos Covid19 berpotensi menguntungkan petahana yang berkuasa.

Padahal pembukaan UUD 45, kita bernegara untuk melindungi segenap jiwa raga rakyat. Dan kita pilkada di saat pandemi belum menunjukkan tanda tanda berakhir. Lihat di undang undang pilkada itu, jika ada bencana maka pilkada ditunda. Inilah hal pokok pelaksanaan demokrasi harus mengutamakan keselamatan rakyat.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini