Harian Kepri

Hitam yang Menyenangkan

Mohammad Endy Febri

Oleh: Mohammad Endy Febri
Bekerja di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Tanjungpinang

Hujan dan gelap tak selalu berkonotasi sembab. Dua hal yang identik dengan bulan Desember ini, dapat dipertanyakan.

Kendati almarhum Sapardi Djoko Damono juga pernah menulis novel melow bertema hujan, Hujan di Bulan Juni, yang bernuansa perjuangan cinta, kecemburuan dan kekecewaan; hujan tetaplah hujan, tergantung perspektif penikmatnya.

Gelap dan hitam tak selamanya menyesakkan. Terlebih Black Friday. Awalnya, Black Friday adalah hal yang memang tak menyedapkan. Peristiwa dimana harga emas sangat lemah, lalu memukul pasar Amerika Serikat.

Kejadian medio 1869 itu disebabkan dua pengusaha Wall Street, Jim Fisk dan Jay Gould yang memborong emas dalam jumlah besar.

Istilah Black Friday diera 1950 sampai 1960-an kembali popular dan masih beraura negatif. Frase itu digaungkan oleh kepolisian Philadelphia untuk mengganti istilah “hari – hari setelah momen Thanksgiving dan dilanjutkan musim berbelanja jelang Natal, yang dampaknya meningkatkan kemacetan, kerumunan hingga pencopetan meningkat.”

Pada pengujung ‘80an pelaku bisnis mengubah istilah Black Friday menjadi simbol semangat baru dan bernuansa positif, seperti momentum Black Friday yang kita kenal hari ini, pesta diskon besar-besaran dari bulan November hingga menjelang tutup tahun di pusat – pusat perbelanjaan seluruh dunia.

Di era belanja digital ini, semangat shopping saat diskon besar – besaran melanda dunia, semua makhluk dapat menikmatinya tanpa kecuali, hingga penghuni pulau kecil sekalipun; selama masih bisa online.

Spirit itu juga semakin menggebu di Indonesia sejak tercetusnya Hari Belanja Online Nasional (HarBolNas). Gerakan yang dilahirkan untuk mendorong masyarakat memahami kemudahan belanja daring.

Dicetuskan pertamakali oleh perusahaan-perusahaan e-commerce yang sebagian besar tergabung dalam Asosiasi e-commerce Indonesia (IdeA).

HarBolNas dimulai pada 12 Desember 2012. Dengan tema promo 12.12.12 kala itu, pelaku e-commerce menularkan semangat yang sama, memajukan industri e-commerce dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara online dengan memberikan promo spesial.

Lewat inisiatif itulah, menjelma aksi bersama industri retail online di Indonesia.

Tahun 2013 diperkenalkanlah istilah Hari Belanja Online Nasional, dimana konsepnya dalam satu hari, konsumen mendapatkan diskon terbesar sepanjang tahun, hanya secara daring.

Respon industri terus meningkat dan disambut sentimen positif oleh pasar hingga hari ini.

Keuntungan bagi usaha mikro dan Industri Kecil Menengah?

Kebangkitan yang diharapkan ditiap pengujung tahun sepertinya tak seiras dengan peruntungan kelompok usaha mikro dan Industri Kecil Menengah (IKM).

Umumnya, produk – produk yang berpindah tangan ke konsumen dimomen diskon itu merupakan hasil karya industri skala besar, barang ‘pabrikan’.

Posisi tawar usaha mikro dan IKM tak menonjol dalam keriuhan, seolah memiliki teritori sendiri dan terkarantina.

Kurang mendapat tempat dalam hiruk pikuk transaksi dan promosi yang sedemikian hebohnya.

Syukurlah, ditahun ini ada gebrakan untuk usaha mikro dan IKM yang kreatif. Sebuah perusahaan telekomunikasi besar Indonesia membuat ruang untuk ekosistem digital itu.

Transformasi digital usaha mikro dan IKM dibuat agar pelaku bisnis ‘rumahan’ bertahan dan terus produktif ditengah pandemik, yang juga memicu pergeseran tren perilaku berbelanja dari offline ke online.

Melalui festival belanja daring itu, untuk pertama kalinya pengalaman belanja online dibuat tiga dimensi oleh perusahaan tersebut.

Pembeli disuguhkan sensasi belanja virtual dengan merasakan nuansa layaknya berjalan di galeri nyata. Dua ratus brand lokal yang berpartisipasi, diintegrasikan secara apik. Semoga jadi embrio untuk gerakan tiap akhir tahun, mengimbangi pola promosi besar-besaran para rekan diruang sebelah.

Kreatifitas dan semangat seperti ini dapat ditularkan lagi kedaerah-daerah, berkonten spesifik pastinya; misalnya dengan kerjasama kelompok pelaku usaha mikro dan IKM sejenis membuat bulan promosi tiap akhir tahun atau menjelang lebaran, dimulai dengan pola digital sederhana yang digagas untuk prioritas terbatas.

Berpromosi gencar secara berkelompok tanpa harus terintegrasi secara profesional terlebih dahulu, seraya terus belajar, berevaluasi dan membaca selera warga.***

Exit mobile version