Harian Kepri

Kelestarian Budaya Melayu dan Ancaman Penambangan Bauksit

Penulis:
Rauf Rahim
Tinggal di Jalan Opu Daeng Celak, Sungai Carang
Aktif di Lembaga Pemeliharaan Budaya Melayu, Imam Hulu Riau

Membaca berita di media online tentang sidak Wakil Gubernur, untuk memantau kondisi cagar budaya (makam), yang akan dijadikan lokasi tambang bauksit menjadi angin segar kepada kami.

Sidak di daerah Bintan tersebut semoga menjadi momentum perhatian pemerintah, terhadap pemeliharaan Cagar Budaya di Provinsi Kepulauan Riau.

Tidak seperti yang terjadi di sekitaran Sungai Carang, tahun 2014 yang lalu. Dimana kuku-kuku buldozer, sudah nyaris meruntuhkan tembok Makam Panglima Hitam, Makam Putih serta kompleks Makam Beparit.

Beruntung saat itu masih ada kelompok masyarakat yang dimotori oleh Pak Nawir, Pak Nuri dan Pak Amir serta penggerak lainnya, yang berdiri menantang rakusnya Cukong pengeruk tanah air.

Kelompok masyarakat yang selanjutnya mendirikan Lembaga Kebudayaan Imam Hulu Riau, yang sampai saat ini masih terus berjuang menghadapi teror, dan ancaman untuk menyelamatkan harta kekayaan kerajaan di Wilayah Sungai Carang.

Saat itu, gerombolan penambang bauksit mengeruk tanah yang masih merupakan kawasan kerajaan dan wilayah cagar budaya, dengan alasan telah mengantongi izin pemerintah.

Menurut masyarakat setempat, awalnya mereka setuju dengan pengerukan tersebut, karena alasannya untuk melakukan pembenahan kawasan budaya.

Tapi kemudian, tidak terlihat adanya pembenahan. Yang terjadi malah pengerukan tanah yang membabi buta hingga nyaris meruntuhkan tembok makam.

Dalam kurun waktu lima tahun sejak kejadian tersebut, hingga saat ini kawasan tersebut menjadi terbengkalai. Tidak terlihat uluran tangan pemerintah, baik Pemerintah Kota maupaun Pemerintah Provinsi, untuk melakukan perawatan wilayah yang dulunya adalah kawasan kerajaan Melayu.

Sejarah mencatat, pada 1672 M wilayah Sungai Carang merupakan pusat bandar yang sangat ramai. Dikenal dengan nama Bandar Riuh.

Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa kata Bandar Riuh yang selanjutnya menjadi asal mula kata Riau pada Provinsi Riau dan Kepulauan Riau (Riuh = Riau).

Di wilayah ini juga menjadi tempat kediaman Raja Haji Fisabilillah melawan penjajah Belanda. Peristiwa besar yang dikenang hingga sekarang adalah pada tanggal 6 Januari 1784, ketika kapal Belanda, Malakas Wal Faren berhasi ditenggelamkan. Tanggal yang kemudian ditasbihkan menjadi hari jadi Kota Tanjungpinang.

Kurangnya perhatian pemerintah, menjadi sangat ironis ketika wilayah ini justru dijadikan ajang wisata. Kemegahan Festival, setidaknya mengundang dua keresahan besar bagi mereka yang mengerti atau mempelajari sejarah diwilayah itu.

Pertama, kemegahan festival bersanding dengan runtuhnya atau tidak terawatnya cagar Istana Kota Piring.

Ironisnya adalah ketika istana tersebut menjadi tempat pengaturan strategi perang kerajaan besar Melayu, dibiarkan tidak terawat tapi justru menghamburkan uang dengan pesta pora.Tidak ada niat menghargai sejarah melalui keramaian tersebut.

Catatan kedua yang diresahkan adalah ketika justru budaya yang ditampilkan pada festival tersebut bukan merupakan budaya melayu.

Jenis perahu naga atau jenis perahu kreasi lainnya, takutnya justru merupakan jenis perahu yang diperangi dan dibenci oleh leluhur Kerajaan Melayu di wilayah tersebut. Museum Imam Hulu Riau dan kepalan tangan lemah perjuangan.

Kehadiran Bapak Wakil Gubernur di tanah cagar budaya untuk mengerem rakusnya penambang bauksit kiranya jangan hanya bersifat sementara saja.

Masyarakat budaya membutuhkan perhatian penuh pemerintah, untuk menata dan membangun kawasan cagar budaya di Provinsi Kepulauan Riau, Khususnya Kota Tanjungpinang.

Sudah lama Masyarakat yang bergabung dalam Lembaga Budaya Imam Hulu Riau, mengajak pemerintah dan seluruh sektor terkait untuk bersama-sama menjaga warisan leluhur di wilayah Sungai Carang.

Berdasarkan data Balai Cagar Budaya Batusangkar, setidaknya dalam radius satu kilo meter persegi, terdapat beberapa titik cagar budaya di wilayah Sungai Carang. Istana Kota Rebah, Istana Kota Piring, Makam Sultan Ibrahim, Makam Panglima Hitam, Kompleks Makam Beparit, Makam Putih, Makam Daeng Celak dan Makam Daeng Marewa.

Jika diperluas lagi maka titik cagar budaya akan sampai ke makam-makam Raja-Raja lainnya di Tanjung Unggat, Sungai Timun hingga Kampung Bugis.

Dengan kemampuan dan anggaran terbatas, Imam Hulu Riau yang disahkan Pemerintah melalui Surat Keterangan Terdaftar nomor 0021720007/III/2015 sebagai Lembaga Pelestarian Budaya Melayu, terus berjuang mempertahankan dan memeliharan kawawan tersebut.

Melalui museum yang didirikan di atas tanah kerajaan, lembaga ini menerima setidaknya ratusan tamu dan wisatawan yang berasal dari domestik maupun Malaysia, Singapura dan Thailand.

Kunjungan wisata sejarah mereka sebagian besar adalah untuk menelusuri jejak keturunan Raja-Raja Melayu serta untuk melihat sisa-sisa nenek moyang mereka yang dikuasai oleh Negara kita.

Namun apa daya, kurangnya fasilitas dan sarana pendukung dan tidak terawatnya situs budaya membuat para peziarah miris.

Peziarah luar biasanya membawa catatan-catatan nama tempat yang ingin dikunjunginya. Kebiasaan kita, ketika mereka bertanya tentang makam, maka mereka akan kita antar ke Pulau Penyengat.

Daftar kunjungan mereka tentu tidak akan ditemukan semuanya di sana. Makam di Penyengat masih lumayan terawat. Tapi jika kemudian mereka berkunjung ke sungai carang, lain ceritanya.

Bahkan ada beberapa makam yang kita tidak bisa tunjukkan. Hal tersebut tentunya akan menjadi catatan negatif bagi kita. Malah beberapa peziarah menyebutkan untuk menyerahkan benda cagar budaya kepada mereka, yang menurutnya akan lebih terjaga jika disimpan dan dipelihara di Malaysia atau Singapura.

Imam Hulu Riau berencana mengelola wilayah tersebut menjadi kawasan budaya. Dengan adanya beberapa titik cagar budaya yang berdekatan, serta adanya aktifitas budaya diwilayah tersebut sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.

Perjuangan mereka dalam menata wilayah ini, dengan cita-cita mendirikan Masjid sebagai pusat aktifitas, ditambah adanya bangunan di sekitarnya sebagai tempat pertemuan budaya, pusat pendidikan dan latihan seni budaya.

Menurutnya, para peziarah dari luar negeri yang memberikan saran tersebut. Termasuk menyanggupi untuk memberikan bantuan biaya untuk pembangunan.

Perlu dukungan kita semua, sebagai penerus perjuangan leluhur bangsa. Khususnya dukungan anak cucu dan keturunan para Raja-Raja Melayu untuk bersama-sama memperjuangkan ditetapkannya wilayah sungai carang sebagai kawasan Budaya.

Kawasan Budaya yang tidak terawat dan dipelihara mengakibatkan mudahnya mafia lahan untuk mengklaim kepemilikannya.

Dengan alasan penataan, pemanfaatan, pengembangan pertanian dan begitu banyak alasan palsu yang sebenarnya motifnya hanya satu, pengerukan bauksit.

Setelah lahan tersebut dikeruk, maka akan ditinggalkan begitu saja dan terbengkalai. Jika masih tidak diperhatikan, tiba-tiba saja lahan tersebut sudah terbit sertifikat hak milik dengan atas nama yang asing bagi telinga kita.

Tulisan ini kami buat setelah sekian lama berdiskusi dan berkegiatan di kompleks makam di daerah Sungai Carang.

Tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menggugah masyarakat yang peduli akan pentingnya mengenang perjuangan pendahulu kita. Semoga kita tidak menjadi generasi yang durhaka, terhadap sumpah dan janji para pahlawan pejuang marwah tanah ini, untuk mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Sejahtera.***

Exit mobile version