Oleh:
Zulfikar
Redpel hariankepri.com
DI ruang rapat dan acara resmi pemerintah, grafik pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepri selalu ditampilkan dengan bangga. Di warung kopi, rakyat hanya bisa menatap kosong harga sembako yang naik. Sungguh, ekonomi Kepri tumbuh subur, tapi sayang tak sampai ke dapur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Kepri tumbuh 5,16 persen pada Triwulan I 2025. Industri pengolahan dan perdagangan besar tercatat menggeliat. Ekspor pun menembus US$ 10,41 miliar sepanjang Januari–Mei 2025, dengan surplus perdagangan sebesar US$ 859 juta.
Tapi bagi rakyat kecil, semua angka itu terasa seperti dunia lain. Pekerja harian, pedagang kaki lima, buruh pelabuhan, hingga sopir ojek tetap berjibaku dengan sembako yang makin mahal, penghasilan yang stagnan, dan kesempatan kerja yang menyusut.
Ironi makin tajam saat menengok angka pengangguran. Per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka di Kepri mencapai 6,89 persen, tertinggi di Sumatera dan kedua tertinggi secara nasional. Pertumbuhan tinggi, tapi lapangan kerja justru menyempit.
Kondisi ini diperparah dengan belanja pemerintah daerah yang mandek. Hingga 12 Juli 2025, realisasi APBD Kepri baru menyentuh 38,83 persen dari total anggaran Rp3,918 triliun.
Bandingkan dengan periode sama tahun lalu, yang sudah mencapai 46,34 persen dari Rp4,569 triliun. Artinya, terjadi penurunan realisasi sebesar Rp596 miliar secara nominal, dan penurunan 7,51 poin persentase secara proporsional.
Pemerintah Provinsi Kepri berdalih sedang menyusun ulang belanja akibat tunda bayar tahun sebelumnya. Tapi kebijakan itu justru mengorbankan hal-hal mendasar. Proyek infrastruktur mangkrak, bantuan sosial tak kunjung cair, pengadaan barang lokal terhenti, bahkan gaji PPPK dan TPP ASN pun terlambat dibayar.
Perlu diingat, belanja pemerintah adalah mesin penggerak utama ekonomi Kepri. APBD bukan sekadar angka di layar excel, tapi denyut yang menghidupkan sektor konstruksi, jasa, pertanian, UMKM, hingga lapangan kerja informal.
Namun alih-alih mempercepat belanja demi mendorong pemulihan ekonomi, Pemprov Kepri justru membanggakan SiLPA besar dan predikat WTP dari BPK. Padahal rakyat tak makan dari SiLPA, dan tak hidup dari laporan audit.
Yang dibutuhkan rakyat itu sederhana, harga bahan pokok yang terjangkau, jalan yang layak, layanan kesehatan yang hadir saat dibutuhkan, dan penghasilan yang cukup untuk hidup layak. Semua itu butuh belanja yang nyata, bukan wacana.
Pemprov Kepri seharusnya sadar, pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan adalah fatamorgana. Ia tampak menjanjikan dari kejauhan, tapi hampa saat didekati.
Tak peduli seberapa besar investasi atau ekspor, jika pasar tradisional tetap sepi dan warung kecil tutup, maka ekonomi itu gagal menyentuh kehidupan nyata rakyat.
Sudah waktunya Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri mengevaluasi ulang arah fiskal. Hentikan kebijakan yang menyandera belanja atas nama tunda bayar. Jangan berlindung di balik jargon efisiensi, sementara rakyat disuruh bersabar dalam keterbatasan.
Jangan terus-menerus menggantungkan penyelamatan fiskal pada pemerintah pusat. Kepri punya potensi besar, tapi tanpa keberanian mengambil langkah konkret untuk mengalirkan anggaran ke bawah, semua itu hanya akan jadi narasi indah yang hampa makna.
Ingat, rakyat tidak hidup dari grafik. Mereka hidup dari dapur yang mengepul, bukan dari slide presentasi. Dan sejarah tidak mencatat pertumbuhan ekonomi dalam persen, melainkan siapa yang berhasil membuat ekonomi terasa nyata di meja makan rakyat.***