Harian Kepri

Tikung Menikung

Robby Patria-f/istimewa-net

Oleh: Robby Patria

Semburat senja nampak di ufuk Barat, nun jauh di Gunung Bintan, mendung tengah menutup langit. Cahayanya gelap bagai temaram di musim utara. Kata penyair Jalaluddin Rumi, jangan pergi ke arah gelap, karena matahari masih ada.

Hening sepi membunuh rasa. Berlari cepat mencari selamat. Ya, kisah raja terhenti di singgasana bukan hal baru di negeri ini. Ratusan tahun lampau, Sultan Mahmud pun ditikam Megat dengan keris seri bentan ketika menuju masjid. Sultan Mahmud menyerang melempar keris sempena johor miliknya melesat mengenai kaki Megat. “Langit menangis” di siang menjelang salat Jumat, Sultan wafat di usia 30 tahun ditikam panglimanya sendiri.

Usia muda rawan akan kesilapan. Megat silap karena balas dendam akan kekasih hatinya dibunuh Sultan. Sultan marah karena istri Megat tak menghormati daulat milik raja. Walaupun itu seulas nangka. Cerita besar sejarah Melayu ini dikisahkan budayawan Rida K Liamsi dalam novel Megat diterbitkan 2016.

Novel sejarah yang menceritakan konflik politik menimbulkan malapetaka sejarah luar biasa dan mengubah seluruh sikap hidup dan pola berpikir rakyat Kerajaan.

Dalam konteks pemerintah modern saat ini bukan dinasti seperti kisah kerajaan Melayu dahulu, maka integritas adalah nilai yang harus dilaksanakan penyelenggara negara dengan satu kata dan perbuatan.

Penulis terkemuka Steven R Covey membuat definisi integritas membuktikan tindakannya sesuai dengan ucapannya. Jika ada pejabat negara atau raja yang korupsi dia sudah ingkar terhadap kata dan perbuatan. Padahal mereka disumpah dengan Alquran di atas kepala untuk tidak KKN.

Dan itu bisa disebabkan karena rakus akan materi. Atau bahkan terlalu besarnya kekuasaan. Karena sejarawan Inggris, Lord Acton di tahun (1833-1902) sudah ingatkan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely’ (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak).

Apalagi bagi yang nekad bermain main api guna meraup kekuasaan dan mengadaikan integritas ke dalam tong sampah. Bagi mereka berprinsip, kalau ketangkap mungkin kurang beruntung sahaja. Tikung menikung demi kekuasaan sepertinya mulai menjadi lazim.

Politik itu sejatinya dibangun melalui konspirasi – konspirasi yang sangat licik. Dan politisi disebut aktor yang paling tangguh. Machiavelli dalam buku Sang Pangeran menyebutkan, orang bisa tak bermoral ketika ingin merebut kekuasaan. Bahkan Mao Zedong menyebutkan, kekuasaan itu lebih nikmat dari berhubungan seks.

Maka apapun bisa dilakukan asalkan dapat berkuasa. Bahkan di Indonesia sudah seperti kerajaan zaman dahulu kala. Politik dinasti tumbuh subur pasca Reformasi. Inilah dilukiskan oleh Nila Bubandf sebagai kegaiban dalam imajinasi politik Indonesia.

Bagaimana tidak gaib, ayah, anak, istri jadi kepala daerah di pilkada langsung 2020. Bahkan di Kabupaten Kediri, istri pertama melawan istri kedua di pilkada. Pesta pun dimenangkan istri pertama dari bupati sebelumnya.

Bahwa politik di Indonesia saat ini sangat mahal dan menjadi lahan intervensi pemilik modal cair sudah diurai dengan baik oleh Burhanuddin Muhtadi di dalam buku Kuasa Uang. Dan itu tak nampak dan tak mudah dibuktikan. Ia seperti mahluk gaib.Terasa tapi tak terlihat.

Politik diibaratkan Burhan seperti dagang sapi. Ada yang menjual dan membeli. Dan semuanya, dijelaskan Burhanudin Muhtadi masuk dalam lingkaran setan politik uang dari suap rekomendasi partai hingga vote buying saat pemilihan berlangsung.

Bahkan lebih jauh lagi, manusia bisa saling membunuh, untuk dapatkan kekuasaan. Ingat kisah Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung untuk menjadi penguasa Tumapel tahun 1222. Bukan hanya membunuh suami untuk berkuasa, istrinya Ken Dedes pun dibujuk dijadikan istrinya Ken Arok.

Ingatlah Firman Allah kepada manusia, “Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (QS Ali Imran [3]:26)

Dengan anugerah kekuasaan itu, Allah akan memuliakan kedudukan seseorang, dan dengan mencopot kekuasaan itu Allah telah menjatuhkan martabat seseorang. Sudah banyak contoh di dunia maupun di Indonesia. Mereka yang terhormat tak lagi jadi terhormat karena terlibat kasus kasus korupsi dan modus lain.

Seorang gubernur yang dipuja karena kepintaran, penguasaan segi pemerintahan, dianggap membawa perubahan kebaikan dari wilayah timur tiba tiba jatuh sedalam dalamnya. Terjun bebas terpelanting tanpa batas dan habis dimakan waktu. Itulah manusia yang maha sempurna dari sisi akademik pun bisa tergoda materi.

Tapi, ada kata mendung tak berarti hujan kan. Ia hanya sekumpalan awan hitam membawa rasa takut akan banjir. Akibat keserakahan politik manusia membabat hutan diganti hutan beton.

Muncul raja raja kecil daerah seolah olah jadi raja dengan setumpuk kekayaan dari tambang tambang yang diambil dari perut bumi. Pasir, tanah mengandung bauksit, nikel, rare, timah adalah aset negara jika dikelola baik baik akan memberikan kesejahteraan rakyat. Namun mereka bermain dengan lincah. Segelintir oligarki, sahabat karib yang menikmati.

Itulah mereka perlu kekuasaan guna memuluskan keinginan terpendam menjadi orang kaya baru dari hasil bumi. Jeffrey Winters menggambarkan di buku Oligarki berargumen bahwa kekayaan Indonesia dikuasai segelintir kelompok—sebuah pernyataan yang membuatnya dilarang masuk Indonesia oleh rezim Orde Baru. Jeffry Winters berkesimpulan bahwa kaum oligark cenderung bermanuver di lingkup kebijakan nasional, menyandera sistem hukum dan perundangan demi kepentingannya.

Menurut Winters, yang menjadi persoalan bukanlah demokratisasi, melainkan ketidakmampuan kita untuk membangun sistem yang bebas dari patronase (impersonal system) dan mampu membatasi jangkauan oligarki itu terhadap hukum serta legislasi. Dinamika ini tercermin dalam konstelasi politik tingkat nasional.

Konon, 40 konglomerat Indonesia secara rerata (1,78 miliar dolar AS) jauh lebih kaya dibandingkan dengan konglomerat di Thailand, Malaysia, Singapura. Tingkat konsentrasi oligarkinya mencapai 6.22, yang menunjukkan betapa jomplangnya penguasaan sumber daya oleh orang terkaya di Indonesia. Harta milik empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin, kata LSM Oxfam, mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook).

Kalangan berduit ini lalu terjun ke politik. Menguasai sendi sendi pemerintahan. Jangan heran mereka yang tak pernah muncul di LSM, dan teriak teriak di mimbar mimbar akademik tiba tiba kampanye mencalonkan diri jadi wakil rakyat dan kepala daerah. Sementara aktivis aktivis pergerakan harus tersisih disebabkan tak punya modal untuk berjuang merebut kekuasaan.

Dan politik itu akhirnya bagaimana kekuasaan direbut dengan menggunakan uang. Lalu uang yang menjadi bagian biaya politik ataupun money politik harus dikembalikan selama berkuasa.Kita pun tak heran lagi, KPK menangkap kepala daerah yang diduga korupsi. Seolah olah mengalami nasib sial saja.

Seperti matahari yang mulai memasuki peraduan di ujung senja, maka masih ada esok hari harapan ketika fajar menyingsing di ufuk timur. Begitu pula masih ada harapan muncul pemimpin hebat di kemudian hari.***

Exit mobile version