Beranda Opini

Tikung Menikung

0

Seorang gubernur yang dipuja karena kepintaran, penguasaan segi pemerintahan, dianggap membawa perubahan kebaikan dari wilayah timur tiba tiba jatuh sedalam dalamnya. Terjun bebas terpelanting tanpa batas dan habis dimakan waktu. Itulah manusia yang maha sempurna dari sisi akademik pun bisa tergoda materi.

Tapi, ada kata mendung tak berarti hujan kan. Ia hanya sekumpalan awan hitam membawa rasa takut akan banjir. Akibat keserakahan politik manusia membabat hutan diganti hutan beton.

Muncul raja raja kecil daerah seolah olah jadi raja dengan setumpuk kekayaan dari tambang tambang yang diambil dari perut bumi. Pasir, tanah mengandung bauksit, nikel, rare, timah adalah aset negara jika dikelola baik baik akan memberikan kesejahteraan rakyat. Namun mereka bermain dengan lincah. Segelintir oligarki, sahabat karib yang menikmati.

Itulah mereka perlu kekuasaan guna memuluskan keinginan terpendam menjadi orang kaya baru dari hasil bumi. Jeffrey Winters menggambarkan di buku Oligarki berargumen bahwa kekayaan Indonesia dikuasai segelintir kelompok—sebuah pernyataan yang membuatnya dilarang masuk Indonesia oleh rezim Orde Baru. Jeffry Winters berkesimpulan bahwa kaum oligark cenderung bermanuver di lingkup kebijakan nasional, menyandera sistem hukum dan perundangan demi kepentingannya.

Menurut Winters, yang menjadi persoalan bukanlah demokratisasi, melainkan ketidakmampuan kita untuk membangun sistem yang bebas dari patronase (impersonal system) dan mampu membatasi jangkauan oligarki itu terhadap hukum serta legislasi. Dinamika ini tercermin dalam konstelasi politik tingkat nasional.

Konon, 40 konglomerat Indonesia secara rerata (1,78 miliar dolar AS) jauh lebih kaya dibandingkan dengan konglomerat di Thailand, Malaysia, Singapura. Tingkat konsentrasi oligarkinya mencapai 6.22, yang menunjukkan betapa jomplangnya penguasaan sumber daya oleh orang terkaya di Indonesia. Harta milik empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin, kata LSM Oxfam, mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook).

Baca juga:  Journalist Boarding School, Bangun Karakter Siddiq-Amanah-Tabligh Fathanah

Kalangan berduit ini lalu terjun ke politik. Menguasai sendi sendi pemerintahan. Jangan heran mereka yang tak pernah muncul di LSM, dan teriak teriak di mimbar mimbar akademik tiba tiba kampanye mencalonkan diri jadi wakil rakyat dan kepala daerah. Sementara aktivis aktivis pergerakan harus tersisih disebabkan tak punya modal untuk berjuang merebut kekuasaan.

Dan politik itu akhirnya bagaimana kekuasaan direbut dengan menggunakan uang. Lalu uang yang menjadi bagian biaya politik ataupun money politik harus dikembalikan selama berkuasa.Kita pun tak heran lagi, KPK menangkap kepala daerah yang diduga korupsi. Seolah olah mengalami nasib sial saja.

Seperti matahari yang mulai memasuki peraduan di ujung senja, maka masih ada esok hari harapan ketika fajar menyingsing di ufuk timur. Begitu pula masih ada harapan muncul pemimpin hebat di kemudian hari.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini