26.7 C
Tanjung Pinang
Jumat, September 19, 2025
spot_img
spot_img

Selamat Datang di Kepri Pak Jehezkiel, Dana Pokir Menyimpang Jadi Ujian Pertama

KEDATANGAN Jehezkiel Devy Sudarso sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kepulauan Riau (Kepri) di Kota Tanjungpinang, Jumat 18 Juli 2025, disambut penuh penghormatan. Di Bandara Raja Haji Fisabilillah (RHF), Jehezkiel disambut dengan prosesi adat Melayu, semua dilaksanakan dengan meriah dan sarat makna.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Mulai dari silat penyambutan, pemakaian tanjak, hingga tepuk tepung tawar. Semua itu, menjadi ritual simbolis bahwa sang jaksa kini telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Kepri.

Tapi masyarakat tidak hanya menyambut dengan tepuk tangan. Mereka juga menanti sesuatu yang lebih substansial, yaitu, keberanian.

Kepri sedang menunggu jaksa yang tidak hanya mengenakan tanjak, tapi juga bersedia menanggalkan kompromi hukum demi membersihkan borok anggaran yang selama ini dibiarkan membusuk.

*Dari Ahok ke Kepri, Jejak Keberanian Jehezkiel*

Jehezkiel Devy Sudarso bukan sosok sembarangan di tubuh Korps Adhyaksa. Kariernya panjang dan penuh reputasi. Pada tahun 2016, namanya mencuat ke publik saat dipercaya sebagai salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebuah perkara sensitif yang menjadi sorotan nasional dan internasional.

Latar belakangnya mengukuhkan kapabilitasnya. Ia pernah menjabat sebagai Wakajati Jawa Timur, posisi strategis di salah satu wilayah hukum terpadat di Indonesia.

Sebelumnya, ia juga mengemban tugas sebagai Asisten Intelijen pada Kejati Jawa Barat, lalu dipromosikan menjadi Koordinator pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) di Kejaksaan Agung, unit penting yang menangani perkara pidana umum tingkat nasional.

Sebelum dipercaya sebagai Kajati Kepri, pria yang akrab disapa Devy ini menjabat sebagai Direktur Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi, dan Eksaminasi pada Jampidsus Kejaksaan Agung. Sebuah posisi teknis sekaligus strategis. Track record-nya berbicara; kalau ia tegas, lugas, dan paham medan.

Kini, tantangan barunya adalah Kepri. Wilayah yang tenang di permukaan, namun menyimpan dinamika korupsi yang licin, terstruktur, dan kerap berlindung di balik jargon pembangunan.

*Luka Lama Bernama Pokir*

Satu lubang gelap yang belum pernah disentuh secara serius adalah, anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD.
Dalam teori, pokir adalah bentuk penyaluran aspirasi dari wakil rakyat ke pemerintah daerah. Namun di lapangan, praktiknya jauh panggang dari api.

Pokir publikasi jadi contoh sempurna. Di balik narasi “kerja sama media” atau “sosialisasi program”, dana miliaran rupiah mengalir entah ke mana. Banyak tayangan tak pernah tayang. Banyak berita hanya pujian basa-basi. Banyak laporan pertanggungjawaban hanya dokumen kosong yang disiapkan untuk formalitas audit.

Modusnya klasik, anggaran miliaran rupiah diarahkan ke media tertentu, tayangan dibuat seadanya, lalu sebagian dana mengalir kembali ke kantong pemilik pokir dalam bentuk “cashback.” Sisanya dibagi-bagi. Sistem ini sudah berjalan lama dan menjangkiti banyak daerah, termasuk Kepri.

Yang mengerikan, sistem ini tidak berdiri sendiri. Ia ditopang kolaborasi antara Anggota DPRD, OPD, dan perusahaan media. Semua tahu, tapi semua diam. Karena menyentuh pokir publikasi berarti menyentuh jaringan kekuasaan.

*Inpres 1/2025: Efisiensi atau Alat Represi?*

Efisiensi anggaran. Itulah kata kunci dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto. Dalam aturan itu, seluruh pemerintah daerah diperintahkan memangkas belanja non-prioritas, termasuk anggaran publikasi dan kerja sama media. Tujuannya terdengar mulia, menghemat keuangan negara dan mengalihkan dana ke sektor yang lebih mendesak.

Namun seperti banyak kebijakan pusat lainnya, implementasi di daerah seringkali menyimpang dari semangat awalnya. Di Provinsi Kepri, dampak Inpres ini tidak menghadirkan efisiensi. Yang terjadi justru sebaliknya, jurang ketimpangan semakin menganga, dan ekosistem media lokal hancur berantakan.

Banyak media kecil yang selama ini menjadi mitra resmi pemerintah daerah, mendadak kehilangan sumber pendanaan. Kontrak dihentikan, liputan terpangkas, redaksi sepi. Beberapa bahkan gulung tikar. Mereka dianggap “beban” karena tak lagi masuk dalam skema anggaran baru. Yang ironis, media-media ini bukan tak berkualitas hanya saja mereka tak punya kedekatan politik dengan elite daerah.

Sementara itu, media-media “terpilih” yang punya relasi politik kuat tetap hidup nyaman. Mereka tak ikut disapu Inpres, karena memiliki jalur alternatif, melalui pokir publikasi. Ya, pos anggaran publikasi yang diselipkan dalam pokir anggota DPRD. Sebuah celah gelap yang tak dijamah aturan pusat.

Dengan kata lain, Inpres digunakan sebagai palu godam untuk memukul mati media independen, sementara pokir menjadi pintu belakang yang menghidupkan media “titipan”. Ini bukan sekadar penyimpangan administratif. Ini pengkhianatan terhadap semangat reformasi anggaran dan keadilan informasi.

Lebih menyakitkan lagi, publik seolah ditipu secara diam-diam. Pemangkasan disebut demi efisiensi, padahal yang dikorbankan adalah media independen. Media yang kerap menjadi ruang kritik, kontrol kebijakan, dan penyampai suara rakyat. Mereka tak diberi ruang, justru disingkirkan perlahan. Sementara media pencitraan yang isinya puja-puji terhadap pejabat dan politisi, terus disuntik dana publik lewat jalur yang sulit diawasi.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius, siapa yang benar-benar diuntungkan dari kebijakan ini? Rakyat yang kehilangan sumber informasi objektif? Atau para elite yang bisa membangun narasi tunggal melalui media pesanan?

Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. Ketika media takut bicara karena bergantung pada pokir, ketika jurnalis tak berani menulis karena takut kehilangan kontrak, maka yang lahir adalah jurnalistik pura-pura, berita setengah hati, laporan penuh basa-basi, dan tayangan yang lebih layak disebut propaganda ketimbang produk jurnalistik.

Dan semua ini terjadi atas nama efisiensi. Padahal, di era disinformasi seperti sekarang, peran media independen justru makin vital. Tapi sayangnya, media yang menjaga jarak dari kekuasaan justru dibunuh perlahan oleh sistem yang timpang. Sistem yang membungkam mereka dengan aturan pusat, sambil diam-diam menyuap media lain lewat pokir.

*Mengapa Tak Tersentuh?*

Kajati sebelumnya, Teguh Subroto, patut diapresiasi. Ia membongkar setidaknya 10 kasus besar sepanjang 2024–2025. Termasuk korupsi Studio TVRI Kepri, Polder banjir Tanjungpinang, hingga pengadaan bonsai fiktif di Lingga.

Tapi satu sektor tetap steril dari hukum, pokir publikasi. Kenapa? Karena ini ranah politik tingkat tinggi. Karena menyentuh pokir publikasi berarti menantang struktur kekuasaan. Mulai dari legislatif, eksekutif, sampai pemilik media. Kajati yang mencoba masuk ke area ini, harus siap menghadapi gelombang tekanan dari elite lokal hingga pusat.

Padahal, bukan berarti pokir publikasi kebal hukum. Di berbagai daerah, penegak hukum sudah mulai bergerak. Kejari Simeulue, Aceh, misalnya, menyelidiki dugaan penyelewengan dana pokir DPRD tahun anggaran 2022 sebesar Rp596,5 juta. Di Bengkulu, Kejati menyidik kasus serupa dalam periode 2022–2023. Bahkan di Pekanbaru, proyek videotron dari pokir publikasi DPRD tahun anggaran 2023 sedang dalam sorotan Kejari.

Tiga contoh itu menegaskan satu hal penting, pokir publikasi bisa diusut. Asalkan ada niat dan keberanian. Inilah tantangan sejati Jehezkiel Devy Sudarso. Bukan membongkar kasus besar yang sudah viral, tapi masuk ke area abu-abu yang selama ini dianggap tabu. Jika ia berhasil membuka borok pokir publikasi, maka itu akan menjadi tonggak penting dalam sejarah penegakan hukum di Kepri.

Ia harus menunjukkan tajinya. Karena, publik menanti tindakan konkret. Audit menyeluruh harus segera dimulai. Jejak pengadaan di LPSE bisa ditelusuri. SPJ, nota pembayaran, hingga bukti tayang media dapat diverifikasi silang.

Kolaborasi juga menjadi kunci. Libatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bila perlu, gandeng media watchdog dan lembaga masyarakat sipil. Karena uang rakyat bukan barang privat yang bisa diatur diam-diam lewat lobi dan kongkalikong.

Apalagi jika ditemukan pola markup, tumpang tindih kegiatan, atau skema cashback dari mitra media. Itu semua sudah cukup jadi dasar hukum untuk penindakan. Tak perlu tunggu laporan masyarakat, karena kejahatan anggaran tidak harus menunggu korban untuk bisa diusut.

Di sisi lain, Kejati juga perlu mendorong reformasi sistem. Pengawasan anggaran publikasi ke depan harus real-time dan transparan. Pemerintah daerah, juga perlu membangun dashboard digital yang bisa memberikan peringatan dini saat muncul penyimpangan. Misalnya, ada anggaran tiba-tiba naik drastis, mitra media yang itu-itu saja, atau output yang tidak terukur dampaknya.

Masyarakat sipil, LSM, hingga para jurnalis independen harus diberi ruang untuk terlibat. Karena publikasi adalah komunikasi publik, bukan milik eksklusif kelompok tertentu. Dan anggaran publikasi, meski dibungkus dengan nama “kerja sama”, tetaplah berasal dari keringat rakyat. Tak boleh digunakan seenaknya.

*Bukan Soal Tanjak, Tapi Soal Tindakan*

Jehezkiel Devy Sudarso punya kesempatan emas. Bukan hanya untuk membuktikan kredibilitasnya sebagai jaksa senior, tapi juga untuk mengembalikan marwah hukum di Kepri. Publik tak butuh janji, yang dibutuhkan adalah langkah nyata, keberanian, dan integritas.

Pada akhirnya, ukuran Kajati bukan seberapa khidmat ia mengenakan tanjak, tapi seberapa berani ia menyentuh borok yang selama ini ditutup rapi oleh kekuasaan.

Jehezkiel sendiri sudah menyatakan bahwa dirinya akan menjalankan penegakan hukum yang profesional, humanis, dan berkeadilan. Jika itu bukan sekadar retorika, maka inilah saatnya membuktikan.

Jika berhasil, Jehezkiel akan dikenang sebagai penjaga marwah APBD di Kepri. Jika tidak, maka publik tahu bahwa sistem telah menelannya bulat-bulat.

Masyarakat Kepri tak lagi butuh basa-basi hukum. Yang dibutuhkan adalah tindakan. Karena hukum yang diam adalah hukum yang gagal. (kar)

zulfikar
zulfikar
Redaktur Pelaksana. Mulai bergabung sebagai jurnalis di hariankepri.com sejak tahun 2017. Merupakan alumni Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMRAH. Saat ini, selain aktif meliput isu-isu lokal dan nasional, juga tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Tanjungpinang.
spot_img

Berita Lainnya

spot_img
- Iklan -spot_img

Berita Terbaru

Translate »