PEMERINTAH Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) menaruh harapan besar pada sektor pariwisata. Di tahun 2025, targetnya bukan main-main. Rp17 triliun pendapatan dari wisata. Angka ini memang mencolok, bahkan terkesan fantastis. Tapi, ini bukan sekadar angan-angan. Ada hitungan rasional di baliknya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tentu saja pakai asumsi. Yakni, 1,7 juta wisatawan mancanegara (wisman) datang dan masing-masing menghabiskan sekitar Rp4,8 juta, ditambah 4 juta wisatawan nusantara (wisnus) yang rata-rata belanja Rp2,2 juta. Total potensi pendapatan bisa mencapai Rp16,96 triliun. Artinya, target Rp17 triliun itu secara matematis bukan tidak masuk akal.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan sinyal positif. Hingga Mei 2025, kunjungan wisatawan meningkat 17 persen dibanding tahun lalu. Jika pertumbuhan ini terus berlanjut, target Rp17 triliun bisa tercapai.
Mari tarik napas sejenak dan bertanya: apakah semuanya sudah benar-benar siap?
Dalam pariwisata, yang terpenting bukan sekadar angka, melainkan kesiapan infrastruktur, layanan, dan peran masyarakat. Ini tantangan utama yang masih dihadapi Kepri. Industri pariwisata, mengenal satu rumus baku yang selalu relevan. 3A. Atraksi, Akses, dan Amenitas (fasilitas dan layanan pendukung).
Tiga komponen ini adalah kunci. Tanpa salah satunya, sebuah destinasi hanya akan menjadi lokasi indah yang dilirik, tapi sulit dijangkau dan tidak nyaman dinikmati.
Kepri jelas unggul di aspek pertama: atraksi. Dengan pulau-pulau tropis, warisan budaya Melayu yang masih terjaga, kekayaan kuliner laut, serta festival tradisional yang rutin digelar.
Di atas kertas, Kepri adalah surga wisata bahari. Tapi kondisi di lapangan menunjukkan gambaran berbeda. Karena, aksesibilitas dan amenitas masih jadi masalah serius di luar Batam dan Bintan.
Di Batam, ada Bandara Internasional Hang Nadim dan 5 pelabuhan internasional yang terhubung langsung ke Singapura dan Malaysia. Bintan punya Pelabuhan Bandar Bentan Telani (BBT) di kawasan wisata Lagoi, yang fasilitasnya cukup modern.
Dua daerah ini juga dilengkapi jalan yang mulus, hotel berbintang, resort internasional, serta jaringan internet yang andal. Namun, begitu menyeberang ke daerah lain, wajah Kepri berubah drastis.
Natuna dan Anambas misalnya, yang memiliki potensi wisata laut kelas dunia, namun terkendala akses terbatas, minimnya fasilitas, dan transportasi antarpulau yang tidak memadai serta mahal, sehingga belum ramah bagi wisatawan.
Lingga dan Karimun pun menghadapi tantangan sama. Bahkan Tanjungpinang, sebagai ibu kota provinsi, masih tertinggal dalam kenyamanan pelabuhan dan fasilitas penunjang.
Pulau Penyengat, yang menjadi ikon sejarah Melayu, meskipun sudah banyak dilakukan pembenahan, tapi belum terlalu optimal. Karena, masih belum dilengkapi toilet yang layak.
Ditambah lagi pelabuhan untuk menuju ke Pulau Penyengat dari Kota Tanjungpinang yang kondisinya masih apa adanya. Padahal, tempat ini kerap dijadikan contoh potensi wisata budaya Kepri.
Pemprov Kepri memang gencar promosi. Festival budaya digelar rutin, konten media sosial dibanjiri foto-foto pulau eksotis, delegasi Kepri juga rutin ikut pameran pariwisata nasional dan internasional.
Strategi ini dilengkapi dengan peluncuran tagar promosi: #BerliburKeKepriAja. Kampanye ini juga membawa pesan penting, jika pariwisata Kepri tak hanya dipusatkan di Batam dan Bintan. Wilayah lain seperti Natuna, Anambas, Lingga, Karimun, hingga Tanjungpinang juga punya potensi wisata luar biasa.
Pemerintah pusat pun ikut mendorong dengan kebijakan Visa on Arrival (VoA) dan Bebas Visa Kunjungan bagi pemegang PR Singapura.
Namun, seberapa jauh infrastruktur Kepri siap menopang promosi yang gencar dilakukan? Jawabannya, belum cukup.
Fakta menunjukkan, banyak destinasi wisata di luar Batam dan Bintan belum layak kunjung. Pelabuhan sempit, transportasi antarpulau minim, internet lambat, penginapan seadanya, dan tenaga kerja belum terlatih. Semua ini menjadi realita yang tak bisa disembunyikan di balik promosi visual yang menggoda.
Promosi tanpa kesiapan justru berisiko melahirkan kekecewaan. Apalagi di era digital, satu pengalaman buruk bisa viral dalam hitungan jam, dan meruntuhkan upaya branding yang dibangun bertahun-tahun.
Bayangkan seorang turis mancanegara yang tertarik dengan keelokan Natuna, setelah melihatnya di Instagram. Ia datang dengan ekspektasi tinggi, tapi yang ditemui justru pelabuhan sempit, jalan berlubang, ojek tanpa helm, dan penginapan seadanya. Alih-alih terkesan, sang turis justru ingin segera pulang.
Satu pengalaman buruk seperti ini bisa menyebar lebih cepat dari iklan promosi termahal sekalipun. Satu ulasan negatif bisa merontokkan sepuluh janji manis.
Perlu dicatat, pariwisata bukan sekadar pemandangan indah, tapi soal pengalaman utuh. Tanpa fasilitas dasar yang layak, wisatawan enggan kembali atau merekomendasikan.
Selama ini, pengembangan pariwisata Kepri terlalu tersentral di Batam dan Bintan. Wajar, karena dua wilayah itu paling siap. Tapi strategi ini keliru jika diteruskan dalam jangka panjang.
Ketimpangan pembangunan menciptakan kesenjangan ekonomi antarwilayah. Sementara potensi wisata di Natuna, Anambas, Lingga, dan Karimun hanya jadi gambar cantik di kalender promosi.
Padahal, penyebaran wisatawan ke wilayah lain bisa mengurangi beban Batam-Bintan, memperluas dampak ekonomi, dan menciptakan keseimbangan pembangunan. Apalagi, turis masa kini semakin mencari pengalaman baru dan eksklusif, bukan sekadar destinasi populer.
Sayangnya, belum terlihat keseriusan Pemprov Kepri dalam mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur di luar Batam-Bintan. Ketiadaan dermaga wisata, transportasi laut yang layak, dan pelatihan SDM di daerah lain membuat potensi daerah-daerah itu tak kunjung tereksplorasi.
Jika Kepri sungguh-sungguh ingin menjadikan pariwisata sebagai penopang utama ekonomi, maka langkah pertama yang harus diambil adalah bercermin pada daerah-daerah yang telah lebih dulu sukses.
Seperti, Bali yang tidak hanya menjual keindahan alam, tapi menyediakan infrastruktur lengkap, layanan profesional, dan konsistensi kebijakan. Bandara internasional, jalan bagus, hotel dari kelas bawah hingga atas, internet cepat, dan SDM terlatih adalah fondasi pariwisata mereka.
Kemudian, Raja Ampat yang menerapkan konservasi laut ketat, membangun jetty wisata, dan menjual konsep ekowisata. Serta Gili Trawangan, yang mengelola wisata berbasis komunitas dengan sistem transportasi lokal yang tertib, pelabuhan bersih, dan promosi digital yang efektif.
Ketiga wilayah itu, memiliki satu kesamaan dengan Kepri, sama-sama menjual kekuatan wisata bahari. Tapi mengapa mereka jauh lebih dikenal, lebih siap, dan lebih stabil secara ekonomi? Jawabannya ada pada tiga kata kunci: keseriusan, keberlanjutan, dan keterlibatan masyarakat.
Jika ingin menjadikan pariwisata sebagai andalan ekonomi, Kepri harus belajar dari daerah yang sudah sukses dengan cara mengadaptasi strategi mereka sesuai kearifan lokal dan karakter wilayahnya.
Kalau target ambisius Rp17 triliun dari sektor pariwisata pada 2025 benar-benar ingin dikejar, maka sudah waktunya Pemprov Kepri berhenti larut dalam euforia promosi dan mulai fokus ke pembenahan konkret.
Beberapa langkah konkret harus segera dilakukan. Mulai dari membangun akses jalan yang layak ke setiap destinasi utama, bukan hanya di Batam dan Bintan.
Meningkatkan fasilitas pelabuhan dan dermaga. Memperbaiki penginapan dan fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan internet di destinasi wisata potensial.
Sediakan transportasi antarpulau yang nyaman dan terjangkau. Agar memudahkan mobilitas wisatawan dan menciptakan pengalaman perjalanan yang lebih menyenangkan dan aman. Serta latih dan fasilitasi masyarakat lokal, supaya mereka menjadi pelaku aktif, bukan penonton.
Yang paling penting, jadikan pariwisata sebagai sektor strategis jangka panjang, bukan proyek musiman. Dengan menyediakan anggaran yang konsisten, menyusun program yang berkelanjutan, dan koordinasi lintas sektor dan wilayah.
Mengapa hal ini penting? Karena pariwisata sejatinya adalah sektor lintas bidang, ia bersinggungan langsung dengan infrastruktur, transportasi, lingkungan hidup, kebudayaan, UMKM, dan bahkan pendidikan.
Singkatnya, membangun pariwisata bukan sekadar membuat brosur dan promosi digital dengan konsep audio visial. Tapi, butuh kerangka kerja jangka panjang, sistem yang konsisten, serta keberpihakan nyata dalam kebijakan dan anggaran
Kepri memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi destinasi pariwisata unggulan. Alamnya memesona, budayanya kaya, dan letaknya strategis. Namun, potensi tanpa eksekusi tak ubahnya hanya sebuah ilusi.
Untuk mewujudkannya, Kepri butuh lebih dari sekadar promosi. Infrastruktur harus dibenahi, ketimpangan antarwilayah dikoreksi, dan masyarakat lokal diberdayakan sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton.
Sebab pada akhirnya, pariwisata bukan hanya soal panorama. Ini tentang pengalaman menyeluruh mudah dijangkau, aman untuk dikunjungi, nyaman ditinggali, dan layak untuk dikenang.
Jika Kepri benar-benar ingin tampil di peta pariwisata dunia, pembangunan harus dimulai dari akar. Bangun jalan yang layak, pelabuhan yang bersih, layanan yang ramah, dan SDM yang terlatih.
Tanpa itu, wisatawan hanya akan mampir, berfoto, lalu pergi dan tak kembali. Target Rp17 triliun pun akan tinggal mimpi besar di siang bolong yang tak pernah terwujud, dan terhenti sebagai angka di atas kertas.(kar)