
Oleh:
Taufik
Pemred hariankepri.com
LAHIRNYA Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, telah secara langsung memberi dampak serius bagi industri media. Pers tidak lagi bergairah. Seluruh pemda pun kompak mengurangi anggaran publikasi, dengan dalih perintah presiden.
Situasi dan kondisi ini juga dialami seluruh insan pers di Provinsi Kepri. Media massa yang menggantungkan hidupnya dari APBD harus menelan pil pahit, sejak awal tahun 2025. Tidak ada lagi ruang kerja sama. “Kue” publikasi semakin kecil. Makin tidak masuk akal, ketika dibagi dengan ratusan perusahaan media.
Namun, inpres dari Pak Presiden Prabowo ini bukan harga mati untuk sejumlah media massa di Provinsi Kepri. Ada celah anggaran yang dijadikan dasar, untuk membuat anggaran publikasi tetap fantastis. Namanya Pokir.
Dalam ketentuannya, pokir yang merupakan akronim dari Pokok-pokok Pikiran, adalah dana yang diberikan kepada para anggota dewan. Tujuannya sangat jelas. Untuk membiayai proyek, atau kegiatan berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihan mereka.
Tidak demikian di Provinsi Kepri. Masih banyak legislator yang menaruh dana pokirnya ke program publikasi media massa. Baik itu media cetak, online maupun televisi dan radio. Nilainya beragam. Bahkan sudah menyentuh belasan miliar setiap tahunnya.
Nah, mereka yang bermain di sektor ini sebenarnya tidak terpengaruh dengan Inpres Prabowo Subianto. Berapapun persentase dana publikasi yang dipotong, kalau masih dibungkus dengan yang namanya pokir, maka, itu akan aman dan selamat.
Dana pokir ini juga lah yang sempat membuat Gubernur Kepri Ansar Ahmad, beserta jajarannya pusing tujuh keliling. Pasalnya, total dana pokir di APBD Kepri tahun 2024 saja, hampir menyentuh Rp300 miliar, untuk 45 anggota DPRD.
Butuh lobi panjang, dan berbulan-bulan rapat antara TAPD dengan Banggar DPRD, hanya untuk mengurangi nominal pokir. Adu kuat antara eksekutif dan legislatif sering terjadi. Tidak jarang deadlock. Muaranya semua karena pokir tadi.
Meskipun sepakat turun nilai pokir, tidak demikian dengan program pokir di kegiatan publikasi. Rp6 miliar di Dinas Kominfo, dan Rp8 miliar di Dinas Pariwisata menjadi bukti, bahwa pokir publikasi memang kebal efisiensi. Tapi ini tidak semua anggota dewan melakoni. Mayoritas tetap berpikir idealis, bahwa dana pokir harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Banyak fakta menunjukkan, pokir anggota DPRD Kepri dialirkan ke infrastruktur, bantuan sosial, hingga ke program pendidikan yang dampaknya dirasakan para konstituen di dapil masing-masing.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, di mana manfaat dana pokir publikasi?. Terlebih lagi, deal antara si empunya pokir dengan tempat penitipan menggunakan pola hingga 70:30. 70 persen dana itu kembali ke si oknum, dan 30 persen kepada media massa sebagai pihak ketiga.
Hingga saat ini, belum ada korelasi jelas yang memperkuat dalilnya. Bahwa pokir publikasi merupakan dana yang pemanfaatan nya ril kebutuhan masyarakat. Atau, pokir adalah konsep pragmatisme dari segilintir anggota dewan, untuk meraup rupiah dari APBD.
Sebagai pelaku bisnis media, dan pekerja profesi di bidang pers, saran dari kami bahwa, sudah seyogyanya Pemerintah Provinsi Kepri, bersama DPRD mengembalikan lagi cita-cita awal, dana aspirasi anggota dewan itu dilahirkan. Pokir, aspirasi atau pun alokatif, semestinya dirasakan oleh masyarakat. Bukan oleh pribadi, maupun kelompok tertentu.
Seperti namanya, pokir, tujuan akhirnya adalah untuk mendukung pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semoga saja. ***