Beranda Opini

Putuskan Politik Dinasti

0

Oleh :
Edy Nusantara
Aktivis Diaspora Tambelan di Bali

Pengalaman sejarah menjadi pelajaran bahwa dinasti besar yang pernah ada di dunia hancur akibat lemahnya kepemimpinan pengganti. Kehancuran disebabkan tak mampunya anak anak raja meneruskan pemerintah yang dibangun ayahnya.

Ada dua dinasti besar dalam Islam yang bisa kita jadikan contoh. Yakni dinasti Usmani yang berkuasa 600 tahun lebih di Turki dengan cakupan wilayah luas hingga ke Asia. Kemal Attartuk mengubah model dinasti khilafah menjadi republik di tahun 1924. Inilah tanda berakhirnya dinasti Usmani yang maha luas itu.

Kemudian kita lihat di India. Besarnya dinasti Mughal juga berakhir ketika anak anak raja tak mampu mengendalikan kekuasaan pemerintahan.

Sebagai mana kita ketahui bersama, peletak dinasti Islam di India adalah Kutbu’ddin Aibak (1206-1211), yang berhasil mendirikan kerajaan Islam di India yang merdeka.

Raja-raja terbesar dari dinasti Moghul adalah Sultan Akbar, Sultan Shah Jahan, dan Sultan
Aurangzib. Sultan Akbar terkenal sebagai raja yang berusaha melakukan akomodasi politik dan kultur atas kekuasaan Islam dan masyarakat Hindu di India.

Di bawah kepemimpinannya Moghul berhasil berkembang menjadi dinasti yang besar.

Sultan Shah Jahan terkenal dengan peninggalannya dalam seni dan bangunan. Makam Tajmahal sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia saat ini merupakan salah satu bangunan peninggalan masa pemerintahannya.

Sementara Sultan Aurangzib sebagai pemimpin yang berhasil mengembangkan kekuasaan Dinasti Moghul sehingga memiliki wilayah
kekuasaan yang sangat luas.

Generasi sesudah Aurangzib gagal membangun kesatuan kerajaan, hingga akhirnya Mogul terpecah menjadi beberapa kerajaan yang berdiri sendiri.

Bersama melemahnya Moghul, bangsa-bangsa Barat terus melakukan penetrasi di India. Akhirnya Inggris berhasil menjadi negara yang paling berkuasa di India hingga tahun 1940, anak (Supardi).

Baca juga:  Memahami Dana Kelurahan

Dengan melihat dua perbandingan itu, maka salah satu kelemahan model monarki yang dipraktikkan dalam kerajaan model dinasti itu adalah calon pengganti raja raja dari kalangan keluarga. Sehingga kekuasaan besar yang dibangun ayahnya hancur akibat anak maupun generasi penerus tak mampu melanjutkan Pemerintahan.

Demokrasi

Jalan baru dalam proses pemerintahan itu diperkenalkan demokrasi yang memberikan kesempatan kepada semua komponen masyarakat untuk menjadi pemimpin. Dan Indonesia mulai mengubah proses pemerintahan yang demokratis ketika reformasi 1998. Pemilu 1999 menjadi tonggak sejarah baru demokrasi Indonesia.

Dan setelah 22 tahun reformasi, masalah politik dinasti pun masuk ke dalam demokrasi atau menyisip seperti benalu. Masalah oligarki, politik dinasti, money politics, menjadi isu yang ramai dibicarakan.

Bahkan ketika pilkada 2020, anak Presiden Jokowi, sampai menantunya pun ikut pilkada. Tak mau ketinggalan anak wapres Makruf Amin pun ikut serta.

Di Kepulauan Riau, politik dinasti dipraktikkan langsung Ansar Ahmad, maju bersama anaknya dan Walikota Batam Muhammad Rudi ikut bersama istrinya Marlin. Ansar berpasangan dengan Marlin di pilkada gubernur Kepri.

Sedangkan anaknya Ansar, Roby Kurniawan berpasangan dengan Apri Sujadi bupati inkumben Bintan saat ini. Tak kalah hebat, Alias Wello menyetujui anaknya Neko Wesha menjadi calon wakil bupati di Lingga berpasangan dengan Nizar yang saat ini wakil bupati Lingga.

Ketika pasangan ini sama sama diusung Nasdem dan Golkar. Artinya Nasdem memiiki tiga calon yang menerapkan politik dinasti. Golkar mengusung dua calon yang terkait politik kekerabatan.

Mengapa mantan kepala daerah sepakat memasang anaknya maupun istrinya ikut pilkada? Jawabannya besar kemungkinannya karena mereka tak mau kekuasaan yang menjadi pintu memasuki sumber pendapatan untuk keluarga lepas kepada kaum yang lain. Sehingga ketika kekuasaan mereka pegang, maka sumber sumber kekayaan keluarga dari kekuasaan bisa langgeng.

Baca juga:  Relokasi Pedagang ala Rahma, Memberi Solusi Tanpa Gejolak

Dan terbukti, kekuasaan Ratu Atut di Banten menyebabkan keluarga Atut menguasai semua lini. Sampai KPK menangkap Atut dengan tuduhan korupsi. Sama halnya politik dinasti di Kutai. Mulai dari ayah dan anak ditangkap KPK.

Beberapa contoh kasus hancurnya dinasti keluarga di tangan aparat hukum menjadi hipotesis bahwa dinasti tak baik untuk sebuah kepemimpinan. Karena ibarat durian tidak masak secara alami, tapi masak karbitan.

Pengelolaan good governance-nya hanya impian tak pernah menjadi nyata. Karena kekuatan politik dinasti akan berjalan seiring dengan oligarki. Pasalnya, mereka memiliki sumber daya ekonomi yang kuat untuk memenangkan kontestasi.

Dan ujung ujungnya, return on Investment dari biaya politik di pilkada dikembalikan melalui proyek proyek pemerintah dan konsesi pertambangan.

Oleh karena itu, untuk mencegah mewabahnya kasus politik dinasti di Kepulauan Riau, bahkan Indonesia di pilkada 2020, rakyat sebagai pemilih harus serius melawan kekuatan politik dinasti dengan tidak memiliki mereka.

Para cendekiawan harus turun dari menara gading memberikan pencerahan bahayanya politik dinasti supaya tidak menjadi dosa intelektual kaum cendekiawan.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini