DARI permukaan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tampak menorehkan prestasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2025 turun menjadi 109.580 orang, menyusut sekitar 7.700 jiwa dibanding September 2024.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pemerintah daerah pun mengklaim, jika itu semua berkat keberhasilan program bantuan sosial, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, hingga stabilitas ekonomi pascapandemi sebagai penopangnya.
Namun, di balik sorak-sorai penurunan angka kemiskinan itu, ada satu fakta yang tak boleh diabaikan. Ketimpangan pengeluaran di Kepri justru memburuk.
Rasio Gini Kepri kini mencapai 0,382, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di angka 0,375. Capaian ini bukanlah prestasi, melainkan peringatan. Sebab, Kepri kini masuk dalam jajaran tujuh provinsi paling timpang di Indonesia.
Jadi, apa artinya angka kemiskinan menurun, jika jurang antara si kaya dan si miskin justru melebar?
Ketimpangan bagai Api dalam Sekam
Ketimpangan bukan sekadar angka teknokratis. Ia adalah bahan bakar sosial. Jika terus membesar tanpa penanganan serius, ketimpangan bisa menjelma jadi krisis kepercayaan hingga kecemburuan sosial.
Penelitian dari UNU-WIDER, lembaga riset PBB, berjudul Inequality, Growth and Poverty in the Era of Liberalization and Globalization, sudah jauh-jauh hari mengingatkan, ketimpangan yang tinggi akan menghambat pengurangan kemiskinan. Mengapa? Karena hasil dari pertumbuhan ekonomi hanya mengalir ke atas, tak menyentuh akar rumput.
Kepri saat ini adalah ilustrasi nyata dari kajian ilmiah tersebut. Karena, di tengah geliat ekspor-impor dan geliat investasi asing, masyarakat pesisir, pekerja informal, dan pelaku usaha kecil justru terpinggirkan. Mereka tidak mendapat tempat dalam narasi kemajuan. Padahal, merekalah fondasi dari kehidupan sosial-ekonomi Kepri yang sesungguhnya.
Pembangunan yang Salah Arah
Masalah ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga arah politik anggaran. Pemerintah daerah di Kepri masih lebih sibuk membiayai belanja pegawai dan operasional birokrasi daripada membangun infrastruktur publik dan layanan dasar.
Belanja modal, yang seharusnya menjadi pengungkit utama penciptaan lapangan kerja dan akses publik masih terbilang rendah. Di saat para elite menikmati proyek-proyek besar, masyarakat bawah terpaksa bertahan hidup dalam keterbatasan. Maka tak heran jika ketimpangan makin terasa mencolok.
Lebih buruk lagi, struktur perekonomian Kepri sangat bergantung pada sektor padat modal dan rentan guncangan eksternal seperti pariwisata, perdagangan internasional, dan manufaktur ekspor.
Sekali saja terjadi krisis global atau konflik perdagangan, masyarakat rentan bisa langsung terpukul. Potensi lahirnya kemiskinan baru menjadi sangat tinggi.
Saatnya Reformasi Ekonomi Daerah
Kepri membutuhkan arah pembangunan yang baru, yaitu pembangunan yang inklusif dan berpihak. Itu artinya, investasi publik harus diarahkan untuk memberdayakan sektor produktif lokal, seperti UMKM, koperasi, pertanian, nelayan pesisir, serta ekonomi digital rakyat.
Pendidikan vokasi dan pelatihan kerja juga mesti difokuskan untuk kelompok rentan, bukan hanya demi menunjang tenaga kerja industri besar. Selain itu, akses modal usaha dan distribusi infrastruktur harus menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan, termasuk pulau-pulau kecil.
Pemerintah daerah di Kepri juga harus mulai jujur dalam membaca data, bukan sekedar mengemas penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi sebagai keberhasilan semu. Karena pembangunan yang tidak disertai pemerataan justru menjadi racun jangka panjang bagi stabilitas sosial.
Membangun untuk Semua, Bukan Segelintir
Pembangunan sejati bukan hanya menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi memastikan semua orang punya peluang yang setara untuk maju.
Dalam situasi seperti sekarang, pertanyaannya bukan lagi seberapa cepat Kepri tumbuh, tetapi untuk siapa pertumbuhan itu dinikmati?
Kepri bisa menjadi provinsi maju, tapi juga bisa menjadi contoh kegagalan pembangunan jika tetap membiarkan ketimpangan mengakar. Jika tidak segera dibenahi, jurang antara si kaya dan si miskin bukan hanya menciptakan kecemburuan, tapi bisa menggerus legitimasi pemerintah.
Maka, jawabannya bukan pada statistik. Jawabannya ada pada keputusan politik. Apakah Kepri ingin tumbuh bersama seluruh warganya, atau terus melaju sambil meninggalkan mayoritas penduduk-nya di belakang?
Jika pemerintah daerah memilih status quo alias hanya berdiam diri, maka Kepri akan tetap menjadi provinsi yang gemerlap di angka, namun gelap di akar rumputnya.
Tapi jika keberanian politik dan keadilan sosial dijadikan prioritas, Kepri bisa menjadi percontohan, bukan hanya sebagai provinsi kaya, tapi juga provinsi yang adil.(kar)