Harian Kepri

Pengaruh Pandemi Covid-19 pada Perkreditan dan Kebijakan Pemerintah

Oleh: Sari Fadillah
Mahasiswa PKN STAN

Pandemi virus corona adalah musibah yang membuat semua orang mendadak ngeri. Pandemi ini membuat seluruh masyarakat dunia menjadi resah.

Bagaimana tidak? Semua kebiasaan seperti aktivitas sehari-hari perlu dibatasi. Interaksi antarindividu pun perlu dihalangi.

Padahal, manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi satu sama lain. Walaupun ditekankan bahwa interaksi bisa tetap dilakukan secara daring (online), perbedaan tersebut tetap terasa.

Tidak seperti wabah MERS, flu burung, dan lainnya, kali ini semua orang mendadak lebih takut.

Banyak faktor yang menyebabkan wabah kali ini terasa lebih menakutkan. Selain karena mudahnya virus ini untuk menyebar, faktor lain adalah kemudahan dalam mengakses informasi.

Saat segelintir orang mulai membagikan kekhawatirannya, maka orang lain pun akan ikut merasa khawatir dan takut.

Berbeda dengan krisis 1998 yang hanya berdampak pada beberapa negara, merosotnya pertumbuhan ekonomi akibat mewabahnya virus corona ini dirasakan oleh semua negara di dunia.

Tak hanya Indonesia, China dan Amerika Serikat yang merupakan negara dengan ekonomi yang kuat di dunia pun ikut tumbang akibat wabah ini.

Masalah kesehatan, keuangan, ekonomi menguasai perhatian pemerintah. Berbagai sektor terdampak signifikan.

Salah satunya adalah sektor usaha. Dalam 5 bulan terakhir ini, sering kita mendengar bahwa banyak usaha yang gulung tikar. Berkurangnya aktivitas ekonomi yang merupakan akibat dari pembatasan interaksi membuat penghasilan setiap orang menurun.

Sejalan dengan model Y = C + I, dengan Y adalah pendapatan/penghasilan, C adalah konsumsi, dan I adalah investasi, maka saat penghasilan menurun, komponen konsumsi dan investasi juga menurun. Turunnya kedua komponen ini berdampak pada perlambatan ekonomi.

Keadaan yang mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak dan meminimalkan interaksi antar individu secara langsung membuat banyak kegiatan ekonomi mulai berkurang.

Sebagai contoh, adanya larangan untuk ‘makan di tempat’ di restoran dan dianjurkan makanan dibawa pulang. Hal ini membuat restoran mulai sepi dan mengurangi penghasilan.

Belum lagi jika banyak orang memilih untuk membuat makanan sendiri di rumah.
Saat mall ditutup untuk mengurangi orang berkumpul, membuat penghasilan para pengusaha yang mempunyai toko di mall tersebut menurun. Padahal di satu sisi mereka harus membayar sewa tempat kepada mall.

Para pengusaha yang modalnya berasal dari pinjaman/kredit di bank, penurunan penghasilan ini membuat mereka berpikir keras tentang bagaimana cara untuk membayar cicilan kredit saat mereka justru merugi.

Hal ini tentunya berdampak pada performa pembayaran kredit pada bank. Potensi hadirnya kegagalan bayar atau kredit macet oleh debitur kepada bank cukup tinggi, mengingat kemampuan bayar yang mendadak turun akibat kejadian di luar kendali manusia ini.

Risiko hadirnya kredit macet atau Non Performing Loan dapat menekan sektor perbankan terutama bank-bank kecil.

Masalah kredit macet ini jika dibiarkan dapat menyebabkan krisis ekonomi. Uang yang sudah keluar dari bank untuk membiayai debitur tidak dapat kembali. Maka tidak ada perputaran uang di bank.

Bayangkan jika bank tidak mempunyai uang, kemudian nasabah yang menyimpan uangnya ingin mengambil uang. Maka akan terjadi Bank Panic seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1998.

Di satu sisi, jika para debitur tersebut pada masa COVID-19 ini di klaim gagal bayar, maka mereka akan sulit untuk mengajukan kredit lagi ke bank dan/atau lembaga keuangan lainnya. Karena nama mereka sudah dinilai buruk atas status kolektabilitasnya.

Jika hal ini memang terjadi, maka kesempatan para debitur ini untuk menjalankan kembali usahanya menjadi terbatas karena sulitnya mendapatkan modal dari bank.

Dan hal ini akan berdampak buruk bukan hanya bagi debitur melainkan juga bagi negara. Berkurangnya jumlah usaha berarti penyerapan tenaga kerja juga berkurang, serta penambahan jumlah pengangguran. Sehingga akan menjadi tambahan masalah juga untuk negara.

Sebagai respon dari pemerintah atas potensi munculnya kredit macet ini, pemerintah menerapkan relaksasi kredit berupa, restrukturisasi kredit melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 serta aturan turunannya yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.

Mengacu pada aturan tersebut, pemerintah memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi berupa kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan atau disebut juga relaksasi kredit.

Dalam peraturan ini, debitur yang mendapatkan keringanan adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank karena debitur atau usaha debitur terdampak penyebaran virus corona, baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pada saat krisis tahun 1998, UMKM merupakan penyangga perekonomian nasional karena mampu bertahan di tengah krisis. Namun, saat ini UMKM menjadi salah satu yang terdampak signifikan dari munculnya wabah ini.

Kemudahan ini tentunya akan berdampak posistif bagi debitur karena debitur tidak akan terkena masalah akan status kolektabilitasnya. Sehingga tidak akan menyulitkan mereka untuk mengajukan kredit lain kedepannya.

Mekanismenya yaitu debitur yang terdampak atas penyebaran Covid-19 perlu mengajukan permohonan restrukturisasi terlebih dahulu.

Kemudian akan dilakukan assessment oleh bank, terhadap kemampuan debitur dalam pembayaran dan tentunya kesepakatan kedua belak pihak.

Dilihat dari sisi bank, maka bank akan tetap bisa memberikan kredit ke debitur karena Bank Indonesia (BI) telah memberikan kelonggaran likuiditas, melalui perubahan kebijakan cadangan minimum kas bank di bank sentral.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberikan kebebasan kepada bank untuk mengimplementasikan aturan ini dengan penurunan suku bunga kredit, perpanjangan waktu pembayaran, hingga pembebasan biaya bunga atau pokok pinjaman.

Namun, bank harus secara hati-hati melakukan assessment atas debitur untuk mengurangi risiko kredit macet.

Penerapan kebijakan ini tentunya memiliki risiko tersendiri yaitu kemungkinan adanya moral hazard dari para debitur untuk mendapatkan manfaat dari relaksasi ini. Dibutuhkan pengawasan yang ketat atas pengajuan permohonan relaksasi agar risiko kerugian akibat kredit macet dapat diminalisasi.

Stimulus yang diberikan pemerintah ini diharapkan dapat mendorong perekonomian agar tetap tumbuh walaupun di tengah situasi wabah Covid-19.***

Exit mobile version