TANJUNGPINANG (HAKA) – Pelaku usaha kuliner dan kafe di Tanjungpinang meminta pemerintah, untuk melakukan sosialisasi terlebih dahulu, mengenai penerapan royalti lagu.
Sekhudin, pemilik Kafe Kateng mengaku bingung terhadap kebijakan tersebut. Ia menilai, bahwa hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai daftar lagu yang bebas royalti, dan lagu mana saja yang wajib dibayar.
“Kita juga tidak tahu musisi mana yang lagunya wajib bayar royalti dan yang tidak. Belum ada informasi resmi soal itu,” ujarnya, kepada hariankepri.com, Sabtu (16/8/2025).
Selain itu, Sekhudin juga menyoroti belum adanya klasifikasi usaha dalam penerapan royalti ini. Menurutnya, tidak adil jika usaha kecil seperti angkringan harus disamakan dengan restoran besar.
“Kebanyakan kafe di Tanjungpinang ini masih UMKM atau usaha perorangan. Kalau dipukul rata, tentu sangat memberatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan, bahwa sampai saat ini belum ada surat edaran ataupun sosialisasi langsung dari pemerintah mengenai kebijakan ini. Para pemilik kafe selama ini hanya mengetahui informasi tersebut dari berita-berita di media sosial.
“Setidaknya kalau memang harus bayar, ada dulu sosialisasinya. Bukan semua tempat ramai karena musik, dan kalau memang dilarang, maka kita bisa pakai instrumen yang bebas royalti,” sambungnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham Kepri, Bobby Briando, menjelaskan, bahwa sistem pengelolaan royalti lagu diatur secara nasional oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai dengan UU Hak Cipta nomor 28 Tahun 2014 dan PP nomor 56 Tahun 2021.
“Setiap pelaku usaha yang memanfaatkan lagu untuk kepentingan komersial, wajib membayar royalti. Termasuk kafe dan restoran yang menggunakan lagu dari layanan streaming seperti Spotify atau YouTube Premium,” jelasnya.
Ia menambahkan, bahwa sistem pendaftaran royalti lagu dilakukan secara digital melalui LMKN dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM).
“Tarif royalti ditentukan berdasarkan klasifikasi usaha, misalnya per jumlah kursi. Rp 60 ribu per kursi setiap tahun untuk hak cipta, dan tambahan Rp 60 ribu untuk hak terkait, jadi total royalti lagu yang harus dibayar sekitar Rp 120 ribu per kursi,” ungkapnya.
Bobby menyebut, Kanwil Kemenkumham Kepri akan melakukan sosialisasi ke berbagai pelaku usaha dan komunitas untuk kebijakan royalti lagu tersebut.
Nantinya, kegiatan ini akan dikemas dalam bentuk seminar dan webinar demi meningkatkan pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan royalti lagu.
“Hingga saat ini kita belum ada menerima laporan resmi dari masyarakat atau pemilik lagu, mengenai pelanggaran hak cipta di wilayah Provinsi Kepri,” tutupnya. (dim)




