28.9 C
Tanjung Pinang
Kamis, September 25, 2025
spot_img
spot_img

Membangun Sinergi Pemprov dan Pemko, dalam Membangun Ibukota Tanjungpinang

*Belajar dari Kasus Taman Gurindam 12

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Oleh:
Raja Dachroni
Ketua Komunitas Peduli Kampung Sendiri (KPKS) Tanjungpinang

TANJUNGPINANG, sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), memegang posisi strategis dalam pembangunan daerah. Sebagai pusat pemerintahan, wajah kota ini tidak hanya mencerminkan citra pemerintah kota.

Tetapi juga menjadi representasi dari pemerintah provinsi di mata masyarakat maupun tamu dari luar daerah. Karena itu, tata kelola pembangunan di Tanjungpinang, sesungguhnya menuntut adanya kerja sama yang erat antara Pemerintah Provinsi Kepri dan Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Salah satu contoh nyata bagaimana pentingnya sinergi ini terlihat dari polemik pengelolaan Taman Gurindam 12 yang baru-baru ini menghangat,karena wacara Pemprov Kepri menswastanisasikannya.

Taman yang dibangun dengan anggaran besar dari provinsi ini, seharusnya menjadi ikon baru kota sekaligus ruang publik modern yang menumbuhkan kebanggaan warga. Namun, sejak peresmian hingga kini, taman tersebut justru menjadi sumber gesekan antar dua level pemerintahan. provinsi dan kota.

Permasalahan muncul mulai dari kewenangan pengelolaan, pembiayaan perawatan, hingga urusan teknis seperti penataan pedagang kaki lima dan kebersihan.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ego sektoral, dan tarik menarik kewenangan dapat menghambat tujuan besar. Menjadikan Tanjungpinang sebagai ibu kota provinsi yang tertata, nyaman, dan layak dibanggakan.

Masyarakat pada akhirnya menjadi pihak yang paling merugi, karena mereka berhadapan langsung dengan dampak kurangnya koordinasi fasilitas yang tidak terawat, kawasan yang semrawut, dan potensi wisata kota yang kurang maksimal.

Karena itu, membicarakan sinergi antara Pemprov Kepri dan Pemko Tanjungpinang bukan hanya soal membagi kewenangan, tetapi juga soal menyamakan visi: bagaimana membangun ibu kota provinsi yang benar-benar mencerminkan martabat daerah dan menghadirkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.

Melepaskan Ego Sektoral

Polemik Taman Gurindam 12 menunjukkan persoalan klasik dalam tata kelola pemerintahan daerah. Tarik menarik kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota. Pemprov Kepri merasa memiliki “hak moral” atas taman tersebut, karena pembangunan dengan dana provinsi dan merupakan proyek strategis.

Sementara Pemko Tanjungpinang merasa memiliki otoritas administratif karena taman berada di dalam wilayah kota, sehingga pengelolaannya seharusnya melekat pada pemerintah kota.

Persoalan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Banyak kota di Indonesia yang berstatus ibu kota provinsi menghadapi problem serupa, di mana pemerintah provinsi dan pemerintah kota seringkali tidak berjalan dalam satu irama. Padahal, ibu kota provinsi bukan sekadar pusat administrasi, melainkan juga wajah utama daerah yang menuntut penataan lebih serius.

Dalam kasus Taman Gurindam 12, konflik kewenangan membuat taman kehilangan daya tariknya. Alih-alih menjadi destinasi wisata kota yang membanggakan, taman justru kerap dikeluhkan karena masalah kebersihan, keamanan, dan pengaturan pedagang. Situasi ini memperlihatkan betapa mahalnya harga dari lemahnya koordinasi antar dua pemerintah.

Masyarakat tentu berharap lebih: ruang publik yang nyaman, tertib, dan memberi nilai tambah ekonomi. Pedagang berharap ada aturan jelas yang tidak tumpang tindih. Wisatawan menginginkan area yang rapi dan aman.

Namun, semua ini sulit terwujud jika Pemprov dan Pemko justru sibuk memperdebatkan kewenangan tanpa duduk bersama membicarakan solusi.

Artinya, tantangan utama di sini adalah bagaimana kedua pihak bisa melepaskan ego sektoral dan menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama.

Karena pada akhirnya, masyarakat tidak peduli siapa yang berwenang. Mereka hanya ingin taman yang bisa dinikmati dengan baik.

Membangun Sinergi Menata Kota

Dari kasus Taman Gurindam 12, ada pelajaran penting yang dapat dipetik: pembangunan ibu kota provinsi tidak bisa didekati hanya dengan logika administratif atau ego sektoral.

Ia harus dilihat dalam kerangka kolaborasi dan sinergi, di mana pemerintah provinsi dan pemerintah kota sama-sama memiliki tanggung jawab dan peran yang saling melengkapi.

Pertama, Membentuk Badan Pengelola Bersama. Pemprov Kepri dan Pemko Tanjungpinang dapat membuat unit khusus atau badan pengelola bersama yang bertugas merawat dan mengembangkan Taman Gurindam 12.

Badan ini dapat diisi oleh perwakilan kedua belah pihak, dengan struktur keuangan yang transparan serta target kinerja yang jelas.

Kedua, Menyusun MoU dan SOP Pengelolaan. Agar tidak terjadi tumpang tindih, kedua pemerintah perlu membuat Memorandum of Understanding (MoU) yang mengatur pembagian tugas, pembiayaan, serta mekanisme pengawasan. Standar Operasional Prosedur (SOP) juga harus dibuat agar pengelolaan berjalan konsisten dan profesional.

Ketiga, Mengintegrasikan Taman dalam Tata Ruang Kota. Sebagai ibu kota provinsi, Tanjungpinang harus punya masterplan penataan kota yang terintegrasi. Taman Gurindam 12 harus ditempatkan sebagai bagian dari wajah kota, bukan sekadar proyek.

Dengan demikian, perannya tidak hanya sebagai ruang publik, tetapi juga sebagai magnet wisata, pusat kegiatan seni budaya, hingga area rekreasi keluarga.

Keempat, Memberdayakan Masyarakat. Sinergi tidak akan tercapai jika hanya berhenti pada level birokrasi. Keterlibatan masyarakat, komunitas seni, pedagang, hingga generasi muda harus diperkuat. Misalnya dengan program taman budaya, festival rutin, atau pengelolaan sampah berbasis komunitas. Dengan begitu, taman akan hidup dan terjaga secara berkelanjutan.

Kelima, Menjadikan Tanjungpinang sebagai Proyek Bersama. Lebih luas lagi, Tanjungpinang sebagai ibu kota provinsi seharusnya diposisikan sebagai proyek bersama Pemprov dan Pemko. Bukan hanya soal taman, tetapi juga penataan jalan, transportasi, kawasan heritage, dan infrastruktur publik lainnya. Dengan visi yang sama, keduanya dapat berbagi peran: provinsi menguatkan aspek pembiayaan dan strategi besar, sementara kota memastikan implementasi teknis yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Pada akhirnya, kasus Taman Gurindam 12 bukan hanya soal taman. Ia adalah simbol betapa pentingnya sinergi antar level pemerintahan. Jika Pemprov Kepri dan Pemko Tanjungpinang mampu menyelesaikan persoalan ini dengan duduk bersama dan menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas, maka ke depan Tanjungpinang bisa tumbuh menjadi ibu kota provinsi yang membanggakan: tertata, berdaya saing, sekaligus manusiawi.

Sinergi inilah yang diharapkan masyarakat yakni bagaimana kedua kepala daerah bisa menjadi sebuah kepemimpinan kolaboratif yang tidak lagi terjebak dalam perebutan kewenangan, tetapi fokus membangun kebersamaan demi kemajuan bersama. Semoga!. ***

spot_img

Berita Lainnya

spot_img
Seedbacklink
- Iklan -spot_img

Berita Terbaru

Translate »