MENILAI pernyataan dari seorang wakil rakyat di DPRD Kepri dalam satu momentum, rasanya seperti menyaksikan dagelan di ruang parlemen daerah. Dengan enteng, seorang legislator meminta agar opsen pajak dihapus, lantaran dianggap membebani masyarakat dalam situasi ekonomi sulit.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Alasannya memang terdengar simpatik. Rakyat sedang kesulitan, dan beban pajak dianggap terlalu memberatkan. Namun di balik empati itu, terselip satu hal yang menggelitik nalar. Apakah benar-benar dipahami soal undang-undang, yang sedianya juga dikatahui oleh lembaga legislatif?
Opsen bukan kebijakan dadakan. Ia adalah hasil dari proses legislasi nasional yang panjang, dan telah diundangkan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
UU ini tidak dibuat asal-asalan. Ia lahir dari semangat reformasi keuangan daerah untuk memperkuat local taxing power, mendorong kemandirian fiskal, serta mengurangi ketergantungan daerah terhadap dana transfer pusat.
Dalam konteks itu, opsen pajak adalah salah satu instrumen penting yang dirancang agar pemda memiliki ruang fiskal lebih luas tanpa membebani masyarakat dengan pungutan tambahan yang rumit.
Apa itu Opsen Pajak?
Secara sederhana, opsen adalah pungutan tambahan menurut persentase tertentu atas pajak yang sudah ada. Bukan pajak baru. Bukan pula beban tambahan secara administratif bagi wajib pajak.
Opsen diterapkan pada tiga jenis pajak daerah, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Yang memungut adalah pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dan hasilnya langsung masuk ke kas daerah masing-masing. Opsen menggantikan sistem bagi hasil yang selama ini berjalan lambat dan sering tidak transparan.
Misalnya, ketika kita membayar pajak kendaraan sebesar Rp2,2 juta ke Samsat, secara otomatis sistem akan menambahkan opsen sebesar 66 persen dari nilai tersebut yakni Rp1,45 juta.
Uang ini langsung disalurkan ke kabupaten/kota tempat kita tinggal. Total pembayaran tetap dilakukan dalam satu kali transaksi. Tidak ada antrean tambahan, tidak ada formulir tambahan, tidak ada beban administratif tambahan.
Secara akumulatif, jumlah pajak yang Anda bayarkan tetap setara atau bahkan lebih ringan jika dibandingkan dengan sistem lama yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Jadi narasi bahwa opsen menambah beban rakyat tidak akurat, cenderung menyesatkan.
Mengapa Opsen Penting?
Di balik kebijakan ini terdapat logika fiskal yang sangat rasional. Daerah selama ini mengeluhkan minimnya pendapatan asli daerah (PAD) dan keterbatasan dalam pembiayaan infrastruktur dasar. Lewat sistem opsen, daerah diberikan insentif langsung. Semakin tinggi tingkat kepatuhan pajak masyarakat, semakin besar penerimaan daerah.
Lebih penting lagi, UU HKPD secara tegas mengatur bahwa minimal 10 persen dari hasil opsen PKB harus digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan, serta peningkatan moda transportasi umum. Artinya, uang dari rakyat akan kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik yang lebih baik. Ini adalah bentuk desentralisasi fiskal yang adil dan progresif.
Dengan demikian, ketika seorang anggota DPRD meminta agar opsen dihapus hanya karena melihat reaksi emosional masyarakat terhadap pajak kendaraan, itu menunjukkan betapa kurangnya literasi kebijakan fiskal yang dipahaminya.
Permintaan penghapusan opesen pajak bukan hanya tidak berdasar, tetapi berbahaya. Jika dikabulkan, maka kabupaten/kota akan kehilangan salah satu sumber PAD potensial yang legal dan sah menurut undang-undang.
Kebijakan Hukum, Bukan Kebijakan Rasa
Dalam sistem demokrasi, semua orang berhak berpendapat. Namun ketika pendapat itu datang dari seorang pejabat publik, maka ia harus berbasis data, regulasi, dan kepentingan publik jangka panjang.
Wakil rakyat tidak boleh hanya menyuarakan perasaan pribadi atau mengikuti opini populis semata. Ia harus menjadi jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal. Bukan malah membenturkan keduanya karena minim pemahaman.
Maka dalam kasus ini, kita patut mengkritisi sikap anggota DPRD yang menyarankan penghapusan opsen pajak, tanpa menyebut satu pun dasar hukum atau alternatif pendanaan yang rasional.
Jika pun pajak dianggap membebani, solusinya bukan menghapus opsen, melainkan mengkaji ulang tarifnya melalui mekanisme Peraturan Daerah (Perda). Itu pun harus dilakukan dengan analisis fiskal yang mendalam, bukan sekadar pertimbangan politik sesaat.
Lebih jauh lagi, kita patut mempertanyakan, bagaimana mungkin seseorang yang duduk di kursi empuk DPRD tidak memahami isi dan maksud UU HKPD? Apakah selama ini fungsi pengawasan dan legislasi hanya dijalankan sebagai formalitas, tanpa membaca secara utuh undang-undang yang disahkan di Senayan dan berdampak langsung ke daerah?
Jika DPRD sendiri tidal memahami kerangka hukum yang menjadi tulang punggung keuangan daerah, maka bisa dipastikan banyak keputusan yang mereka ambil akan melenceng dari akuntabilitas dan efisiensi. Rakyat tak hanya dirugikan secara fiskal, tapi juga kehilangan kepercayaan terhadap institusi legislatif.
Belajar Dulu, Baru Bicara
Satu hal yang harus ditekankan, membela rakyat itu tidak bisa dilakukan dengan membongkar fondasi fiskal yang sudah dibangun dengan serius oleh negara. Keuangan daerah tidak bisa dikelola dengan logika politis semata. Ia butuh kejelasan arah, kepastian hukum, dan kesadaran akan keterbatasan fiskal.
Jika para wakil rakyat di DPRD masih ingin menyuarakan pembelaan terhadap rakyat, maka mulailah dengan memahami. Pahami Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, telaah kebijakan opsen dengan data dan kajian, dan jika perlu, undang ahli fiskal daerah untuk berdiskusi terbuka.
Karena hanya dengan pemahaman yang utuh, seorang wakil rakyat bisa benar-benar menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan yang cerdas. Dengan kebijakan yang berbasis hukum dan data, pembangunan daerah bisa berjalan konsisten, adil, dan berkelanjutan.
Menjadi wakil rakyat bukan soal bicara paling lantang, tetapi soal paham apa yang sedang diperjuangkan. Dan dalam konteks ini, perjuangan sejati bukan menghapus opsen pajak, tapi memastikan agar uang dari opsen itu benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk jalan mulus, transportasi layak, dan layanan publik yang bisa dibanggakan. (kar)