SETIAP kali pemerintah Provinsi Kepulauan Riau membuka forum, seminar, atau konferensi bertema ekonomi, ada satu kalimat yang hampir pasti diucapkan oleh pejabat: Kepri adalah Permata Biru Ekonomi Maritim Indonesia.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Letaknya yang strategis, berbatasan langsung dengan Selat Malaka, kerap menjadi alasan kebanggaan. Selat ini masuk dalam sepuluh choke point tersibuk dunia, jalur yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, tempat lalu-lintas perdagangan internasional bernilai ratusan miliar dolar Amerika melintas setiap tahun.
Faktanya, posisi ini bukan sekadar peta di atlas. Data menunjukkan, sekitar 80 ribu kapal dan 70 juta kontainer menyeberangi perairan Kepri setiap tahun. Kapal-kapal itu mengangkut minyak, gas, elektronik, hingga barang konsumsi yang menjadi denyut nadi ekonomi global.
Di atas kertas, angka itu seperti ladang emas yang menunggu digarap. Tapi di laporan keuangan daerah, potensi ini nyaris tak meninggalkan jejak. Dari sektor labuh jangkar, misalnya, pendapatan asli daerah (PAD) Kepri masih nihil. Nol.
Potensi yang Menguap di Tengah Laut
Ironisnya, hitungan ekonom dan praktisi pelabuhan menyebut, jika enam area labuh jangkar di Kepri, yakni Pulau Nipah, Batu Ampar, Kabil, Berakit, dan Selatan Batam dikelola optimal, potensi pendapatan bisa tembus Rp3 triliun per tahun.
Angka itu cukup untuk menutup sebagian besar belanja daerah tanpa bergantung pada dana transfer pusat. Dengan Rp3 triliun ditambah pendapatan dari pajak kendaraan bermotor dan retribusi daerah, Kepri bisa membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan secara lebih mandiri.
Namun yang terjadi, kapal-kapal asing justru lebih senang melepaskan jangkar di perairan Singapura. Tarif labuh jangkar di negeri jiran itu tidak main-main, antara 6.000–8.000 dolar AS per hari.
Singapura memanfaatkan penuh setiap jengkal lautnya, mematok harga tinggi, dan tetap menjadi primadona kapal dunia. Sementara Kepri, yang jaraknya hanya selemparan batu dari Negeri Singa itu, harus puas menjadi penonton.
Pipa Gas, Kabel Optik, dan Alasan yang Berulang
Pemerintah daerah punya jawaban klasik, di bawah perairan Batam terbentang pipa gas dan kabel optik yang membatasi area lego jangkar. Alasan teknis ini terdengar masuk akal, tetapi sudah terlalu sering diulang tanpa upaya nyata mencari alternatif.
Salah satu ide yang pernah mencuat adalah memanfaatkan jasa pemandu kapal (pilotage service) di Selat Malaka. Data menunjukkan, setiap tahun ada sekitar 72 ribu kapal yang melintas di jalur ini, dengan tarif pandu mencapai 6.000–8.000 dolar AS per kapal.
Bila Kepri mampu merebut sebagian kecil saja dari pasar ini, pendapatan daerah bisa terdongkrak signifikan. Tapi ide itu sebatas wacana.
Kewenangan yang Terkunci di Pusat
Masalah lain yang kerap dijadikan tameng adalah kewenangan pengelolaan laut berada di tangan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan. Artinya, Pemprov Kepri tidak punya hak penuh untuk menetapkan tarif, mengatur labuh jangkar, atau menarik pendapatan langsung dari kapal-kapal asing.
Dalam teori pemerintahan, ini memang soal yurisdiksi. Tetapi di dunia politik, semua bergantung pada lobi dan kemauan untuk bertarung di meja perundingan.
Yang membuat publik heran, hubungan politik antara Kepri dan pusat sebenarnya sedang mesra. Gubernur dan wakil gubernur berasal dari koalisi partai yang sama dengan Presiden Prabowo Subianto.
Secara logika, ini adalah momentum untuk mengajukan deal politik, memberikan otonomi pengelolaan laut dengan imbalan komitmen keuangan yang jelas. Namun tanda-tanda lobi serius itu belum terlihat.
Retorika Tanpa Strategi
Sejak Kepri dimekarkan menjadi provinsi sendiri pada 2002, jargon “potensi maritim” menjadi langganan pidato. Setiap pergantian gubernur, narasinya diulang, Kepri punya letak strategis, kekayaan laut melimpah, peluang besar menjadi hub maritim internasional.
Tetapi setelah dua dekade, hasil nyatanya tipis. Sektor migas memang pernah menjadi penyumbang besar PAD, tetapi itu pun bergantung pada sumber daya yang terbatas dan rentan fluktuasi harga global.
Sektor labuh jangkar dan jasa pandu kapal yang potensinya nyata, justru tidak pernah masuk tahap eksekusi. Sementara Singapura, yang lautnya lebih sempit, sudah puluhan tahun menjadikannya sumber devisa raksasa. Perbandingan ini menyakitkan, tetapi menggambarkan betapa Kepri masih nyaman dengan retorika tanpa strategi.
Menyalahkan Pusat, Melupakan Inovasi
Menyalahkan pemerintah pusat memang mudah. Tetapi otonomi daerah memberikan ruang untuk berinovasi. Pemprov Kepri bisa saja menggagas joint management dengan Kementerian Perhubungan atau Badan Usaha Milik Negara pelabuhan. Skema bagi hasil atau kemitraan publik-swasta dapat menjadi jalan tengah sambil menunggu revisi regulasi.
Bahkan tanpa menguasai sepenuhnya kewenangan labuh jangkar, Kepri tetap bisa mengais manfaat dari industri maritim, seperti layanan perbekalan kapal, pengisian bahan bakar, perbaikan, hingga logistik kontainer.
Sayangnya, semua ide itu berjalan lambat, tersendat di meja birokrasi atau terhenti di level wacana.
Menguji Niat dengan Angka
Mari bicara hitung-hitungan. Dana transfer dari pusat ke Kepri setiap tahun berkisar Rp2–2,5 triliun. Potensi labuh jangkar, menurut hitungan kasar, mencapai Rp3 triliun. Secara sederhana, jika potensi itu terealisasi, Kepri bisa membiayai diri sendiri dan bahkan lebih leluasa merancang pembangunan.
Tetapi potensi tidak otomatis menjadi realita. Potensi butuh strategi, eksekusi, dan keberanian politik. Kalau gubernur benar-benar serius, tawaran berani bisa diajukan ke Presiden Prabowo: beri kami kewenangan penuh, dan kami siap tanpa dana transfer. Dengan begitu, pusat tidak kehilangan anggaran, dan Kepri punya kebebasan mengelola lautnya.
Politik Tanpa Tekanan
Masalahnya, lobi seperti itu butuh keberanian dan konsistensi. Politisi daerah sering kali lebih nyaman menjaga hubungan baik tanpa membuat pusat merasa terancam.
Padahal, tanpa sedikit tekanan, kebijakan yang menguntungkan daerah sulit lahir. Dalam politik, kompromi lahir dari tarik-menarik kepentingan, bukan sekadar basa-basi seremonial.
Sampai hari ini, Kepri belum menunjukkan tanda-tanda ingin mengubah status quo. Pemerintah provinsi lebih sibuk dengan agenda seremonial, festival budaya, atau peresmian proyek kecil yang nilainya tidak sebanding dengan potensi besar di laut.
Belajar dari Tetangga
Singapura, yang hanya punya luas laut tak seberapa, mampu mengatur perairannya seperti jalur tol internasional. Setiap kapal yang lewat harus membayar mahal untuk pandu, tambat, atau sekadar lego jangkar.
Malaysia juga memanfaatkan titik-titik strategis di Johor dan Selat Johor untuk menarik retribusi pelayaran. Mereka tidak sekadar mengandalkan retorika, tetapi membangun infrastruktur hukum, teknis, dan politik yang solid.
Kepri seharusnya belajar. Potensi maritim tidak hanya soal geografi, tetapi juga soal tata kelola dan kepastian hukum. Investor dan operator kapal butuh jaminan bahwa pelayanan akan cepat, tarif jelas, dan fasilitas memadai.
Mengganti Narasi dengan Aksi
Dua dekade sudah Kepri berdiri sebagai provinsi, dan narasi “permata biru” masih diulang seperti mantra. Publik mulai lelah mendengarnya. Yang dibutuhkan kini adalah aksi nyata, menyusun peta jalan pengelolaan laut, membentuk tim lobi nasional, menyiapkan regulasi daerah yang kompatibel dengan aturan pusat, serta membangun fasilitas maritim yang berkelas internasional.
Jika alasan pipa gas dan kabel optik terus dipakai, maka sampai 20 tahun ke depan pun cerita ini akan sama, Kepri tetap menjadi “permata” yang indah dipandang, tetapi tak pernah benar-benar berkilau di neraca keuangan daerah.
Waktu untuk Menuntut, Bukan Meminta
Kepri adalah salah satu provinsi yang paling diuntungkan secara geografis di Indonesia. Letaknya di persimpangan jalur perdagangan dunia adalah anugerah yang tak dimiliki semua daerah. Tetapi anugerah tanpa keberanian dan strategi hanya akan menjadi cerita kosong.
Pemerintah provinsi harus berhenti menjadikan potensi maritim sebagai bahan retorika. Saatnya mengubahnya menjadi program konkret dengan target pendapatan jelas. Dan untuk itu, diperlukan keberanian menuntut kewenangan, bukan sekadar meminta.
Jika Gubernur dan Wakil Gubernur berani mengambil langkah politik yang tepat, Kepri bisa keluar dari ketergantungan pada dana transfer pusat. Laut yang kini hanya menjadi pemandangan, bisa berubah menjadi sumber kemakmuran.
Sampai hari itu tiba, “permata biru ekonomi maritim Indonesia” akan tetap menjadi retorika yang diulang setiap tahun. Indah di kata, hambar di hasil.(kar)